MAKALAH
HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA
“Kewenangan Peradilan Agama”
Disusun
oleh :
Nama : Vany
Lucas
Nim :
1008015141
Kelas : B
Fakultas Hukum
Universitas
Mulawarman
Tahun Ajaran
2012
Kata
Pengantar
Rasa syukur yang dalam saya sampaikan
ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa , karena
berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan.
Dalam makalah ini saya membahas “Kewenangan Peradilan Agama”. Makalah ini
dibuat dalam rangka memperdalam
pemahaman masalah Kewenangan Peradilan Agama dengan baik.
Dalam
proses pendalaman materi ini,
tentunya saya mendapatkan bimbingan dan arahan, serta saran, untuk itu
rasa terima kasih yang dalam-dalamnya
saya sampaikan :
- Ibu Dosen mata kuliah Hukum
Sumber Daya Alam
- Dan Orang Tua
- Yang Terkasih
Demikian makalah ini saya buat semoga
bermanfaat,
Samarinda,
28 September 2012
Vany
Lucas
DAFTAR
ISI
A. BAB
I
Latar
Belakang…………………………………………………………………… 1
Rumusan
Masalah………………………………………………………………. 1
B. BAB
II
Pembahasan……………………………………………………………………….
3
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 10
BAB I
A. Latar Belakang
Kata
“kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari
ahasa Belanda competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan
“kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
B. Rumusan Masalah
1.
Apa yang dimaksud dengan Kewenangan ?
2.
Apa saja yang merupakan Kewenangan dalam
Peradilan Agama?
BAB II
Pembahasan
Kata “kekuasaan”
disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari ahasa Belanda
competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan, sehingga
ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Berbicara
tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata,
biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relative” dan “kekuasaan
absolut”, sekaligus diicarakan pula di dalamnya tentang tempat mengajukan
gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.
A.
Kekuasaan Relative
Kekuasaan
relative diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu
tingkatan, dalam peredaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan
sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Magelang dengan
Pengadilan Agama Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan
Pengadilan Agama Baturaja.
Pengadilan
Negeri Magelang dan Pengadilan negeri Purworejo satu jenis, sama-sama
lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan
Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturajasatu jenis, yaitu sama-sama
lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.
Pasal
4 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989 berbunyi :
Pengadilan
Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya
meliputi kotamadya atau kabupaten.
Pada penjelasan Pasal 4
ayat (1) berbunyi :
Pada
dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibu kota
kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten,
tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.
Jadi, tiap-tiap
Pengadilan Agama mempunyai wilayah hokum tertentu atau dikatakan mempunyai
“yuridiksi relative” tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu
kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau
mungkin kurang.
Yuridiksi relative ini
mempunyai arti penting sehuungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan
mengajukan perkaranya dan sehuungan dengan hak eksepsi tergugat.
B.
Kekuasaan Absolut
Kekuasaan
absolute artinya kekuasaan Pengadilan yang erhubungan dengan jenis perkara atau
jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis
perkara atau jenis pengadilan atau
tingkatan pengadilan lainnya, misalnya:
Pengadilan
Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang Beragama Islam
sedangkan bagi yang selain islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
Pengadilan
Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkra dalam tingkat pertama,
tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah
Agung.
Banding
dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan
ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap
kekuasaan absolute ini, Pengadilan Agamadiharuskan untuk meneliti perkara yang
diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau ukan. Kalau
jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang
menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat
mengajukan keeratan yang disebut “eksepsi absolute” dan jenis eksepsi ini boleh
diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan
saja, malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi. Pada tingkat
kasasi, eksepsi absolute ini termasuk salah-satu di antara tiga alas an yang
membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah agung
untuk membatalkan Putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan
absolutnya.
C.
Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan
Peradilan Agama
Kata
“kekuasaan” disini maksudnya kekuasaan absolute. Dalam berbagai peraturan
perundang-undangan, kekuasaan absolute tersebut sering disingkat dengan kata
“kekuasaan” saja, misalnya :
Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman
menurut undang-undang.
Susunan,
Kekuasaan serta Acara dari badan-adan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat
(1) diatur dalam undang-undang.
Kekuasaan
absolute Pengadilan Agama diseutkan dalam Pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 tahun
1989, yang berbunyi:
Pasal
49
(1)
Pengadilan Agama ertugas dan berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara
orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.
Perkawinan;
b.
Kewarisan. Wasiat dan hibah, yang
dilakukan berdasarkan hokum islam;
c.
Wakaf dan shadaqah
(2)
Bidang perkawinan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf a. ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan
undang-undang mengenai perkawinan atau yang berlaku.
(3)
Bidang kewarisan sebagaimana yang
dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli
waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing
ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.
Pasal 50
Dalam hal terjadi
sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai ojek yang
menjadi sengketa tersebut harus diputus leih dahulu oleh pengadilan dalam
lingkup Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 50:
Penyelesaian terhadap
objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses
peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu.
1.
Perkara perkawinan
Yang
dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Than 1974, ialah:
1)
Izin beristri lebih dari seorang;
2)
Izin melangsungkan perkawinan bagi orang
yang belum berusia 21 tahun, dalam halo rang tua atau wali atau keluarga dalam
garis lurus ada perbedaan pendapat;
3)
Dispensasi kawin;
4)
Pencegahan perkawinan;
5)
Penolakan perkawinan oleh Pegawai
Pencatat Nikah;
6)
Pembatalan perkawinan;
7)
Gugatan kelalaian atas kewajiban suami
atau isteri;
8)
Perceraian karena talak;
9)
Gugatan percerian;
10) Penyelesaian harta bersama;
11) Mengenai penguasaan anak-anak;
12) Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan
pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawa tidak
memenuhinya;
13) Penentuan
kewajiban memeri biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau
penentuan suatu kewajiban agi bekas isteri;
14) Putusan tentang sah atau tidaknya seorang
anak;
15) Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang
tua;
16) Pencabutan
kekuasaan wali;
17) Penunjukan
orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali
dicaut;
18) Menunjuk
seorang wali dalam hal seorang anak yang elum cukup umur 18 (delapan belas)
tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh
orang tuanya;
19) Pembebanan
kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas
harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20) Penetapan
asal usul seorang anak;
21) Putusan
tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22) Pernyataan
tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sehubungan
dengan jenis-jenis perkara dibidang perkawinan diatas, mungkin menimulkan
pertanyaan bagaimana pengertian kata-kata”antara orang-orang yang beragama
islam” seperti yang disebutkan dalam pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989,
jika seumpama suami-isteri erlainan agama ( suami Islam, Isteri non islam atau
sebaliknya), atau suami istri pindah agama sesudah kawin, baik kedua-duanya
atau hanya salah satu saja? Begitu pula bagaimana kalau calon suami dan calon
isteri berlainan agama dan salah satunya misalnya memerlukan izin kawin dari
Pengadilan Agama ? selanjutnya bagaimana pula misalnya seorang anak (baru
berusia 12 tahun) mau menggugat nafkah anak terhadap ayah dan ibunya karena
ayah dan ibunya sudah bercerai dan tidak lagi tinggal serumah dengan anaknya ,
padahal ayahnya beragama non islam, ibunya beragama islam dan perkawinan ayah-ibunya
dahulu tercatat di PPN ( Pegawai Pencatat Nikah ).
2.
Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah
Menurut
pasal 49 ayat (3) berbunyi:
Bidang kewarisan
sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa
yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian
masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan terseut.
Adapun
tentang wasiat dan hibah tidak ada penjelasan lain. Oleh karena itu, sekarang
yang perlu kita jelaskan meliputi tentang : (1) penentuan siapa-siapa ahli
waris,(2) penentuan mengenai harta peninggalan, (3) penentuan bagian
masing-masing ahli waris, (4) melaksanakan pembagian harta peninggalan, (5)
wasiat, (6) hibah.
Hibah
tidak ada kaitannya dengan kewafatan seseorang, sea hibah itu diuat sewaktu
pemberi hibah masih hidup dan sudah dilaksanakan penyerahannya kepada penerima
hiah sewaktu pemberi hibah masih hidup.
3.
Perkara wakaf dan shadaqah
Menurut
Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dengan menteri pendidikan dan kebudayaan
tanggal 10 September 1987, Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987, tenteng
Pembakuan Pedoman Transliterasi arab Latin, wakaf dan shadaqah, yang
kedua-duanya berasal dari bahasa Ara itu, seianya dituliskan waqaf dan
shadaqah.
Wakaf
adalah suatu ibadah dengan cara menjadikan suatu benda miliknya, yang kekal
zatnya, menjadi tetap untuk selamanya, diamil manfaatnya agi kepentingan
kebaikan (kepentingan ummat manusia). Benda wakaf mendapat keduduka yang tetap,
tidak boleh dijualbelikan atau digadaikan atau diwariskan atau dihiahkan dan
lain sebagainya, untuk selama-lamanya
Shadaqah
memberikan benda atau barang, baik berupa benda bergerak atau tetap, yang
segera habis bila dipakai ataupun tidak, kepada orang lain atau badan hukum
seperti yayasan atau sejenis itu, tanpa imbalan dan tanpa syarat melainkan
semata-mata karena Allah SWT.
D.
Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan
Agama.
Ada
tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi ganjalan dalam
pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama, yaitu sebagai berikut :
1.
Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989
Dimana dalam pasal ini
erkenaan dengan sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara
sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49.
2.
Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989,
angka 2
Kewarisan adalah :
mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta
peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksana pembagian
harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan terseut dilakukan berdasarkan
hukum islam.
3.
Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989:
Dimana berunyi :
Jika ada tuntutan pihak ketiga,
maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama sampai ada
putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh
kekuatan hukum yang tetap tentang hal itu.
DAFTAR
PUSTAKA
A. Alquran Al-Karim
B. Hadis
·
As-san’any, Muhammad bin Isma’il Al
Kahlany, Suul as-salam, Dahlan,
Bandung, tt.
C. Fiqh
·
At-Tarablisy, ‘alau ad-Di, 1973, Mu’in al Hukkam, Mustafa al Baby
al-halay, Mesir.
D. Peraturan perundang-undangan
·
UU No. 7 Tahun 1989
·
UUD 1945
E. Dari mahkamah Agung
·
SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor
9 tahun 1964, tentang Putusan Verstek.
F. Umum
·
Mahadi, S.H., Prof., Peranan Peradilan Agama di Indonesia,
Prasaran pada simposium Sejarah Peradilan Agama, 8-10 April 1982 di Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar