RANGKUMAN
MODEL-MODEL
ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
Disusun
oleh
Njuk
Andawiyah Purnomo Wulan 1008015062
Vany
Lucas 1008015141
A.
MEDIASI
Pengertian Mediasi adalah proses penyelesaian sengketa
melalui proses perundingan atau mufakat para pihak dengan dibantu oleh mediator
yang tidak memiliki kewenangan memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri utama proses mediasi adalah perundingan yang esensinya sama dengan proses
musyawarah atau konsensus. Sesuai dengan hakikat perundingan atau musyawarah
atau konsensus, maka tidak boleh ada paksaan untuk menerima atau menolak
sesuatu gagasan atau penyelesaian selama proses mediasi berlangsung. Segala
sesuatunya harus memperoleh persetujuan dari para pihak. Latar Belakang Mediasi
Dasar hukum pelaksanaan Mediasi di Pengadilan adalah Peraturan Mahkamah Agung
RI No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan yang merupakan hasil
revisi dari Peraturan Mahkamah Agung No. 2 Tahun 2003 (PERMA No. 2 Th. 2003),
dimana dalam PERMA No. 2 Tahun 2003 masih terdapat banyak kelemahan-kelemahan
Normatif yang membuat PERMA tersebut tidak mencapai sasaran maksimal yang
diinginkan, dan juga berbagai masukan dari kalangan hakim tentang permasalahan permasalahan dalam PERMA
tersebut.
Latar Belakang mengapa Mahkamah Agung RI (MA-RI)
mewajibkan para pihak menempuh mediasi sebelum perkara diputus oleh hakim
diuraikan dibawah ini. Kebijakan MA-RI memberlakukan mediasi ke dalam proses
perkara di Pengadilan didasari atas beberapa alasan sebagai berikut :
Pertama,
proses mediasi diharapkan dapat mengatasi masalah penumpukan perkara. Jika para
pihak dapat menyelesaikan sendiri sengketa tanpa harus diadili oleh hakim, jumlah
perkara yang harus diperiksa oleh hakim akan berkurang pula. Jika sengketa
dapat diselesaikan melalui perdamaian, para pihak tidak akan menempuh upaya
hokum kasasi karena perdamaian merupakan hasil dari kehendak bersama para
pihak, sehingga mereka tidak akan mengajukan upaya hukum. Sebaliknya, jika
perkara diputus oleh hakim, maka putusan merupakan hasil dari pandangan dan
penilaian hakim terhadap fakta dan kedudukan hukum para pihak. Pandangan dan
penilaian hakim belum tentu sejalan dengan pandangan para pihak, terutama pihak
yang kalah, sehingga pihak yang kalah selalu menempuh upaya hukum banding dan
kasasi. Pada akhirnya semua perkara bermuara ke Mahkamah Agung yang
mengakibatkan terjadinya penumpukan perkara.
Kedua,
proses mediasi dipandang sebagai cara penyelesaian sengketa yang lebih. cepat
dan murah dibandingkan dengan proses litigasi. Di Indonesia memang belum ada
penelitian yang membuktikan asumsi bahwa mediasi merupakan proses yang cepat
dan murah dibandingkan proses litigasi. Akan tetapi, jika didasarkan pada
logika seperti yang telah diuraikan pada alasan pertama bahwa jika prkara
diputus, pihak yang kalah seringkali mengajukan upaya hukum, banding maupun
kasasi, sehingga membuat penyelesaian atas perkara yang bersangkutan dapat
memakan waktu bertahun-tahun, dari sejak pemeriksaan di Pengadilan tingkat
pertama hingga pemeriksaan tingkat kasasi Mahkamah Agung. Sebaliknya, jika
perkara dapat diselesaikan dengan perdamaian, maka para pihak dengan sendirinya
dapat menerima hasil akhir karena merupakan hasil kerja mereka yang
mencerminkan kehendak bersama para pihak.
Selain logika seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
literatur memang sering menyebutkan bahwa penggunaan mediasi atau bentuk-bentuk
penyelesaian yang termasuk ke dalam pengertian alternative dispute resolution
(ADR) merupakan proses penyelesaian sengketa yang lebih cepat dan murah
dibandingkan proses litigasi.
Ketiga,
pemberlakuan mediasi diharapkan dapat memperluas akses bagi para pihak untuk
memperoleh rasa keadilan. Rasa keadilan tidak hanya dapat diperoleh melalui
proses litigasi, tetapi juga melalui proses musyawarah mufakat oleh para pihak.
Dengan diberlakukannya mediasi ke dalam sistem peradilan formal, masyarakat
pencari keadilan pada umumnya dan para pihak yang bersengketa pada khususnya
dapat terlebih dahulu mengupayakan penyelesaian atas sengketa mereka melalui
pendekatan musyawarah mufakat yang dibantu oleh seorang penengah yang disebut
mediator. Meskipun jika pada kenyataannya mereka telah menempuh proses
musyawarah mufakat sebelum salah satu pihak membawa sengketa ke Pengadilan,
Mahkamah Agung tetap menganggap perlu untuk mewajibkan para pihak menempuh
upaya perdamaian yang dibantu oleh mediator, tidak saja karena ketentuan hukum
acara yang berlaku, yaitu HIR dan Rbg, mewajibkan hakim untuk terlebih dahulu
mendamaikan para pihak sebelum proses memutus dimulai, tetapi juga karena
pandangan, bahwa penyelesaian yang lebih baik dan memuaskan adalah proses
penyelesaian yang memberikan peluang bagi para pihak untuk bersama-sama mencari
dan menemukan hasil akhir.
Keempat,
institusionalisasi proses mediasi ke dalam sistem peradilan dapat memperkuat
dan memaksimalkan fungsi lembaga pengadilan dalam penyelesaian sengketa. Jika
pada masa-masa lalu fungsi lembaga pengadilan yang lebih menonjol adalah fungsi
memutus, dengan diberlakukannya
PERMA tentang Mediasi
diharapkan fungsi mendamaikan atau memediasi dapat berjalan seiring dan
seimbang dengan fungsi memutus. PERMA tentang Mediasi diharapkan dapat
mendorong perubahan cara pandang para pelaku dalam proses peradilan perdata,
yaitu hakim dan advokat, bahwa lembaga pengadilan tidak hanya memutus, tetapi
juga mendamaikan. PERMA tentang Mediasi memberikan panduan untuk dicapainya
perdamaian. Inspirasi Prosedur Mediasi Dalam rangka menindaklanjuti keputusan
MARI merevisi PERMA No. 2 Tahun 2003, telah dibentuk sebuah Kelompok Kerja
untuk mengkaji berbagai kelemahan pada PERMA dan mempersiapkan draf PERMA hasil
revisi, yang hasilnya adalah PERMA No. 1 Tahun 2008. Kelompok Kerja ini diketuai
oleh Dr. Harifin A. Tumpa, SH.MH. yang dilanjutkan oleh Atja Sondjaja, SH.
Dalam melaksanakan tugasnya, Kelompok Kerja telah
melakukan kegiatan-kegiatan untuk menyelesaikan proses penyusunan revisi PERMA
tersebut. Hasil kerja Kelompok Kerja kemudian diserahkan kepada Kelompok
Pengarah (Steering Committee), yaitu terdiri atas Wakil Ketua MARI bidang
Yustisial, dan seluruh Ketua-Ketua Muda MARI dan konsultan ahli. Kelompok
Pengarah menentukan kata akhir atas tiap rumusan pasal pasal dalam PERMA hasil
revisi.
Prosedur Untuk Mediasi ·
1. Setelah perkara dinomori, dan telah ditunjuk majelis
hakim oleh ketua, kemudian majelis hakim membuat penetapan untuk mediator supaya dilaksanakan mediasi.
2. Setelah pihakpihak hadir, majelis menyerahkan penetapan
mediasi kepada mediator berikut pihak-pihak yang berperkara tersebut.
3. Selanjutnya mediator menyarankan kepada pihak-pihak
yang berperkara supaya perkara ini
diakhiri dengan jalan damai dengan
berusaha mengurangi kerugian masing-masing pihak yang berperkara.
4. Mediator bertugas selama 21 hari kalender, berhasil
perdamaian atau tidak pada hari ke 22
harus menyerahkan kembali kepada majelis
yang memberikan penetapan. Mediator adalah pihak netral yang membantu para
pihak dalam proses perundingan guna
mencari berbagai kemungkinan
penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Ciri-ciri penting dari mediator adalah :
1. netral
2. membantu para
pihak
3. tanpa
menggunakan cara memutus atau memaksakan sebuah penyelesaian.
Jadi, peran mediator hanyalah membantu para pihak dengan
cara tidak memutus atau memaksakan pandangan atau penilaiannya atas
masalah-masalah selama proses mediasi berlangsung kepada para pihak.
Tugas-tugas Mediator
1. Mediator wajib mempersiapkan usulan jadwal pertemuan
mediasi kepada para pihak untuk dibahas dan disepakati.
2. Mediator wajib mendorong para pihak untuk secara langsung
berperan dalam proses mediasi.
3. Apabila dianggap perlu, mediator dapat melakukan kaukus
atau pertemuan terpisah selama proses mediasi berlangsung.
4. Mediator wajib mendorong para pihak untuk menelusuri dan
menggali kepentingan mereka dan mencari berbagai pilihan penyelesaian yang
terbaik bagi para pihak.
PERBEDAAN MEDIASI MELALUI LITIGASI DAN
NONLITIGASI
MEDIASI LITIGASI
Setiap perkara perdata dilatar belakangi oleh ketidak puasan
seseorang atau beberapa orang (pihak penggugat) terhadap seseorang atau
beberapa orang lain (pihak tergugat), yang menurut pihak penggugat ada
hak-haknya yang telah dilanggar oleh pihak tergugat, atau ada kewajiban
tergugat kepada penggugat yang tidak dilaksanakan oleh tergugat.
Penggugat karena telah berkali-kali meminta haknya kepada
tergugat, tidak juga berhasil kemudian mengajukan gugatan ke Pengadilan, dengan
harapan Hakim dapat mengembalikan hak penggugat atau menghukum tergugat
memenuhi kewajibannya.
Kemudian Hakim dibebani kewajiban untuk dapat mendamaikan para
pihak melalui jalur mediasi, dan boleh jadi para pihak menunjuk mediator yang
bukan Hakim atau orang lain di luar Pengadilan.
Lain hal dengan Pengadilan di Jepang, masyarakat lebih memilih
mengajukan permohonan minta didamaikan oleh Pengadilan (Permohonan
konsiliasi/Cote) bukan mengajukan gugatan, dan umumnya berhasil. Persidangan
konsiliasi/Cote dipimpinoleh seorang Hakim dan didampingi oleh dua orang
konsiliator, dua orang konsiliator tersebut ada diantaranya pensiunan Hakim,
atau Pengacara yang kawakan, atau dokter ahli, atau ahli pertanahan, tokoh
masyarakat, dlsb. Para konsiliator diberi honor oleh Pemerintah Jepang. Ada
juga perdamaian yang terjadi di Pengadilan Jepang berdasarkan gugatan, dan
hasil perdamaiannya disebut Wakai.
Mahkamah Agung dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 memakai system
mediasi, hal itu yang akan dibahas dalam Bab berikutnya.
Pengadilan telah memanggil pihak-pihak untuk bersidang, kemudian
para pihak atau wakilnya datang menghadap, maka Ketua Majelis Hakim wajib
menunda persidangan guna menempuh perdamaian dengan para pihak menunjuk
mediator, boleh jadi kesepakatan para pihak atau wakilnya untuk menunjuk salah
seorang Hakim di Pengadilan atau Panitera / Panitera Pengganti, atau orang lain
di luar daftar mediator yang ada di Pengadilan. Perihal tentang mediasi adalah
menggali kehendak UU (Pasal 30 HIR / Pasal 154 R.Bg)
Praktek yang telah lama berjalan, adalah Upaya Majelis Hakim
menasehati pihak-pihak berperkara dalam persidangan pertama tersebut, kemudian
menawarkan kepada para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya
secara damai. Proses menasehati dan menawarkan perdamaian inilah yang menurut
pandangan Mahkamah Agung, sebagai upaya yang belum sungguh-sungguh
pelaksanaannya oleh Majelis Hakim Pengadilan Tingkat Pertama, dan oleh
karenanya lahirlah PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tersebut. “Mediasi adalah
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan para pihak dengan dibantu oleh
mediator”.
Dari pengertian mediasi sebagaimana tersebut diatas, mengandung
makna, yakni para pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan yang
menguntungkan bagi kedua belah pihak melalui jalur perundingan dengan dibantu
oleh seorang mediator. Dengan adanya kesepakatan yang telah dibuat oleh kedua
belah pihak diharapkan dapat meminimalisir terbuangnya waktu serta biaya yang
akan dikeluarkan oleh mereka dalam menyelesaikan sengketa.
Beberapa hal yang harus mendapat perhatian penuh dari pimpinan
pengadilan, antara lain :
§
Telah memiliki daftar mediator;
§
Menyediakan tempat untuk pelaksanaan mediasi;
Pada prinsipnya apabila para pihak atau wakilnya hadir dalam
persidangan pertama, kemudian majelis hakim berupaya menasehati dan mengarahkan
para pihak agar memilih penyelesaian secara damai, maka jika para pihak sepakat
untuk berdamai dan minta kepada Pengadilan agar menerbitkan akta perdamaian,
Pengadilan cukup sekali bersidang pada hari itu saja dengan produk akta
perdamaian. Sekiranya para pihak sepakat untuk membuat perdamaian sendiri di
luar persidangan dan penggugat mencabut gugatannya, hal tersebut juga
dibolehkan. Bedanya produk Pengadilan berupa akta perdamaian, sengketa kedua
belah pihak benar-benar berakhir, sudah tidak dimungkinkan lagi untuk diajukan
kembali ke Pengadilan manapun, baik tingkat pertama, banding maupun kasasi, hal
demikianlah yang dimaksudkan dengan pasal 130 ayat (1) HIR / pasal 154 ayat (1)
R.Bg jo. Pasal 130 ayat (3) / pasal 154 ayat (3) R.Bg jo. Pasal 43 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 1985.
Sedangkan perdamaian antara kedua belah pihak yang terjadi di
luar persidangan pengadilan, biasa disebut dengan istilah “dading”. Perdamaian
dading mengikat kedua belah pihak yang berdamai, diharapkan keduanya tunduk dan
mematuhi isi kesepakatan yang mereka perbuat, tetapi jika salah satupihak tidak
mau melaksanakan isi kesepakatan tersebut, maka pihak yang merasa dirugikan
tidak dapat memohon kepada Pengadilan untuk dieksekusi, dan sekalipun surat
perdamaian tersebut dibuat dihadapan Notaris. Yang merasa dirugikan dapat
mengajukan gugatan baru.
“Segala perdamaian diantara para pihak mempunyai suatu kekuatan
suatu putusan Hakim dalam hukum yang penghabisan, tidak dapatlah dibantah
dengan alasan kekhilafan mengenai hukum atau dengan alasan salah satu pihak
dirugikan “ (Pasal 1858 KUHPerdata).
Bila upaya perdamaian tersebut tidak berhasil, barulah ditempuh
upaya mediasi :
§
Ketua atau Anggota Majelis tidak diperbolehkan bertindak sebagai
mediator.
Problemnya : di lingkungan Peradilan Agama, Hakim masih sangat
terbatas, para pihak sepakat Hakim A lah yang mereka sukai sebagai penengah,
padahal Hakim A adalah Ketua atau Anggota Majelis perkara tersebut. Perlu ada
pengecualian untuk Pengadilan Agama yang masih kekurangan tenaga Hakim.
§
Mediator harus telah memiliki “sertifikat”.
Problemnya : persyaratan tersebut tidak tercantum dalam definisi
mediator. Pasal 1 ayat (5) menyatakan :”Mediator adalah pihak yang bersifat
netral dan tidak memihak, yang berfungsi membantu para pihak dalam mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa”. Menurut hemat penulis, upaya
perdamaian yang telah dicanangkan sejak Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 1
Tahun 2002, kemudian diganti dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003 tentang Prosedur
Mediasi di Pengadilan, perlu segera ditindaklanjuti dengan mempedomani PERMA
tersebut, dan ketentuan keharusan menunggu adanya pensertifikatan, justru
menghambat pelaksanaan mediasi, perlu adanya terobosan bagi Pengadilan guna
mengatasi hambatan tersebut, dengan berpatokan kepada definisi mediator
tersebut diatas.
Adapun beberapa prinsip dari lembaga mediasi, adalah:
Pada prinsipnya
mediasi bersifat sukarela
Pada prinsipnya inisiatif pilihan penyelesaian sengketa melalui
mediasi tunduk pada kesepakatan para pihak. Hal ini dapat dilihat dari sifat
kekuatan mengikat dari kesepakatan hasil mediasi didasarkan pada kekuatan
kesepakatan berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata. Dengan demikian pada prinsipnya
pilihan mediasi tunduk pada kehendak atau pilihan bebas para pihak yang
bersengketa. Mediasi tidak bisa dilaksanakan apabila salah satu pihak saja yang
menginginkannya.
Pengertian sukarela dalam proses mediasi juga ditujukan pada
kesepakatan penyelesaian. Meskipun para pihak telah memilih mediasi sebagai
cara penyelesaian sengketa mereka, namun tidak ada kewajiban bagi mereka untuk
menghasilkan kesepakatan dalam proses mediasi tersebut. Sifat sukarela yang
demikian didukung fakta bahwa mediator yang menengahi sengketa para pihak hanya
memiliki peran untuk membantu para pihak menemukan solusi yang terbaik atas
sengketa yang dihadapi para pihak. Mediator tidak memiliki kewenangan untuk
memutuskan sengketa yang bersangkutan seperti layaknya seorang hakim atau
arbiter. Dengan demikian tidak ada paksaan bagi para pihak untuk menyelesaikan
sengketa mereka dengan cara mediasi.
Dalam hukum di Indonesia, praktek mediasi pada umumnya juga
didasarkan pada pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam konteks
sengketa konsumen pengguna mediasi bersifat sukarela sebagaimana diatur dalam
pasal 45 ayat (2) UU No. 8 Tahun 1999 yang berbunyi:
“Penyelesaian sengketa konsumen dapat ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang
bersengketa”.
Lingkup sengketa pada
prinsipnya bersifat keperdataan
Jika dilihat dari berbagai peraturan setingkat Undang-undang
yang mengatur tentang mediasi di Indonesia dapat disimpulkan bahwa pada
prinsipnya sengketa-sengketa yang dapat diselesaikan melalui mediasi adalah
sengketa keperdataan. Pasal 30 ayat (2) UU No. 23 Tahun 1997 tentang
pengelolaan lingkungan hidup menyebutkan bahwa penyelesaian sengketa di luar
pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana lingkungan hidup. Demikian pula
pada pasal 75 ayat (1) UU No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan sebagaimana
dirubah dengan UU No. 19 Tahun 2004 mengatakan penyelesaian sengketa kehutanan
di luar pengadilan tidak berlaku terhadap tindak pidana sebagaimana diatur
dalam UU kehutanan tersebut. UU No. 30 Tahun 1999 meskipun tidak tegas seperti
kedua UU terdahulu, namun dari ketentuan pasal 5 ayat (1) berbunyi: “sengketa
yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan
dan mengenai hak yang menurut hukum dan perundang-undangan dikuasai oleh pihak
yang bersengketa”, dapat dipahami bahwa sengketa yang dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa perdagangan dan sengketa hak yang bersifat
keperdataan saja.
- Proses sederhana
Sifat sukarela dalam mediasi memberikan keleluasaan pada pihak
untuk menentukan sendiri mekanisme penyelesaian sengketa mediasi yang mereka
inginkan. Dengan cara ini, para pihak yang bersengketa tidak terperangkap
dengan formalitas acara sebaimana dalam proses litigasi. Para pihak dapat
menentukan cara-cara yang lebih sederhana dibandingkan dengan proses beracara
formal di Pengadilan. Jika penyelesaian sengketa melalui litigasi dapat selesai
bertahun-tahun, jika kasus terus naik banding, kasasi, sedangkan pilihan
penyelesaian sengketa melalui mediasi lebih singkat, karena tidak terdapat
banding atau bentuk lainnya. Putusan bersifat final and binding yang artinya
putusan tersebut bersifat inkracht atau mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Istilqh “final” berarti putusan tersebut tidak membutuhkan upaya hukum
lanjutan. Pengertian “mengikat” atau “Binding” adalah memberikan beban kewajiban
hukum dan menuntut kepatuhan dari subjek hukum. Di dalam Hukum Acara Perdata
dikenal teori res adjudicate pro veritare habetur, yang artinya apabila suatu
putusan sudah tidak mungkin diajukan upaya hukum, maka dengan sendirinya
putusan tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (inkracht van
gewijsde) dan oleh karenanya putusan tersebut mengikat para pihak yang
bersengketa.
Sebagai konsekuensi cara yang lebih sederhana ini, maka mediasi
sering dianggap lebih murah dan tidak banyak makan waktu jika dibandingkan
dengan proses litigasi atau berperkara di Pengadilan.
2. Proses mediasi tetap
menjaga kerahasiaan sengketa para pihak
Mediasi dilaksanakan secara tertutup sehingga tidak setiap orang
dapat menghindari sessi-sessi perundingan mediasi. Hal ini berbeda dengan badan
peradilan dimana sidang umumnya dibuka untuk umum. Sifat kerahasiaan dari
proses mediasi merupakan daya tarik tersendiri, Karena para pihak yang
bersengketa pada dasarnya tidak suka jika persoalan yang mereka hadapi
dipublikasikan kepada umum.
Mediator bersifat
menengahi
Dalam sebuah proses mediasi, mediator menjalankan peran untuk
menengahi para pihak yang bersengketa. Peran ini diwujudkan melalui tugas
mediator yang secara aktif membantu para pihak dalam memberikan pemahamannya
yang benar tentang sengketa yang mereka hadapi dan memberikan alternative
solusi yang terbaik bagi penyelesaian sengketa diajukan mediator sepenuhnya
berada dan ditentukan sendiri oleh kesepakatan para pihak yang bersengketa.
Mediator tidak dapat memaksakan gagasannya sebagai penyelesaian sengketa yang
harus dipatuhi.
Prinsip ini kemudian menuntut mediator adalah orang yang
memiliki pengetahuan yang cukup luas tentang bidang-bidang terkait yang
dipersengketakan oleh para pihak.
Bila diperhatikan berbagai macam cara untuk penyelesaian
sengketa memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, misalnya pencapaian
consensus bersama yang terjadi dalam Hukum Adat Indonesia, di samping
menyelesaikan sengketa tertentu, juga membantu membangun dan melindungi
komunitas, tetapi kadang kala yang muncul dalam upaya untuk memperoleh
kesepakatan hanya berupa bentuk pemaksaan yang terselubung, yaitu para pihak
yang bersengketa dipaksa menyetujui demi kepentingan pihak komunitas. Pada
beberapa kasus seperti ini, kebutuhan dan kepentingan pihak yang bersengketa
mungkin tidak terpenuhi sama sekali. Hal ini tentunya merugikan pihak yang
bersengketa.
Tugas mediator telah diatur di dalam Bab III PERMA Nomor 2 Tahun
2003, ada beberapa hal yang tidak diatur di daalam PERMA. Menurut hemat penulis
perlu ditempuh oleh para mediator, yaitu antara lain:
Tugas pertama seorang mediator: adalah memberikan nasehat dan
mengarahkan para pihak atau wakilnya agar mau menyelesaikan sengketanya secara
damai, setelah selesai memberikannasehat atau pengarahan, kemudian pihak
tergugat dipersilahkan menunggu di luar ruangan dan mediator melanjutkan dengan
memberikan kesempatan kepada pihak penggugat atau kuasanya mengungkapkan
sejelas-jelasnya permasalahan yang menjadi sengketa sejak awal hingga keadaan yang
sekarang, kemudian mediator memberikan pandangannya bagaimana sebaiknya
mengatasi permasalahan tersebut sehingga pihak penggugat tidak dirugikan dan
pihak tergugat juga diberi kemudahan-kemudahan memenuhi tuntutan tersebut.
Kemudian penggugat disuruh menunggu di luar dan tergugat atau kuasanya
dipanggil masuk, mediator mempersilahkan tergugat memberikan keterangannya
sehubungan dengan adanya tuntutan pihak penggugat. Bila ada hal-hal yang
janggal atau kurang jelas keterangan tergugat mediator mengajukan pertanyaan-
pertanyaan atau minta kejelasan dari tergugat tentang hal-hal yang belum
ditanggapi oleh tergugat, setelah selesai, mediator menawarkan beberapa solusi
agar sengketa tersebut dapat selesai secara damai.
Tugas kedua seorang mediator: adalah memanggil kedua belah pihak
memasuki ruang mediasi, mediator mempersilahkan pihak penggugat atau kuasanya
mengajukan poin-poin tuntutannya dan bila ada solusi damai yang ditawarkannya
hendaknya diajukan secara tertulis, bila ada hal yang dianggap mediator belum
konkrit, mediator meminta agar penggugat mengulangi dan menjelaskan hal
tersebut. Selanjutnya agar tergugat memberikan tanggapannya serta solusi damai
yang ditawarkannya secara tertulis, dan mediator meminta kejelasan hal-hal yang
dianggap kurang jelas.
Tugas ketiga seorang mediator: adalah mengelompokkan
bagian-bagian yang telah disepakati, bila semua bagian telah disepakati berarti
mediator berhasil mendamaikan para pihak, bila masih ada bagian yang belum
disepakati maka pertemuan dilanjutkan pada hari dan tanggal yang telah
disepakati bersama, dan mediator mengingatkan kepada para pihak untuk berfikir
kembali dan mengajukan tawaran jalan keluar atas hal-hal yang belum disepakati
tersebut secara tertulis dan diajukan kepada mediator pada hari dan tanggal
yang telah disepakati tersebut.
Prosedur Mediasi di pengadilan
Peraturan Mahkamah Agung RI. No.2 Tahun 2003 Tentang Prosedur
Mediasi di pengadilan, konsideranya adalah; untuk mengurangi penumpukan
perkara, merupakan salah satu cara menyelesaikan perkara lebih cepat dan murah,
bersesuian dengan Pasal 130 HIR atau pasal P 153 RBg.
Sifat Mediasi :
- Wajib (Mandatory) atas seluruh perkara perdata yang
diajukan kepengadilan Tk.1
- Hakim mewajibkan para pihak menempuh lebih dahulu
proses mediasi;
- Hakim wajib memunda siadang dan memberikan kesempatan
para pihak untuk mediasi;
- Hakim wajib memberikan penjelasan ttg prosedur mediasi
dan biayanya;
- Apabila para pihak diwakili Penasehat Hukum maka
setriap keputusan yang diambil harus memperoleh persetujuan tertulis dari
para pihak;
- Proses mediasi pada dasarnya tidak bersifat terbuka
untu umum, kecuali para pihak menghendaki lain, sedangkan mediasi untuk
kepentingan publik terbuka untuk umum.
Hak memilih mediator oleh para pihak :
- Mediator ditunjuk (disepakati) oleh para pihak, dapat
dari dalam peradilan (hakim) yang sudah mendapat sertifikat sebagai
mediator, atau pihak dari luar pengadilan yang sudah bersetrifikat;
- Jika para pihak dapat sepakat dalam memilih mediator
maka ketua majelis hakim dapat menetapkan menunjuk mediator yang terdaftar
dalam PN tersebut;
- Waktu paling lama satu hari kerja setelah sidang
pertama;
- Ketua atau anggota majelis hakim di larang sebagai
mediator
Kewajiban Mediator :
- Mediator wajib menyusin jadwal mediasi;
- Mediator wajib mendorong dan menelurusi serta mengali
kepentingan para pihak;
- Mediator wajib mencari berbagi pilihan penyelesain;
- Mediator wajib merumuskan kesepakatan secara tertulis;
- Mediator wajib memuat klausa pencabutan perkara;
- Mediator wajib memeriksa kesepakan untuk menghindari
jika ada klausa yang bertentangam dengan hukum;
- Setelah 22 hari melalui mediasi tidak berhasil, maka
mediator wajib menyatakan secara tertulis bagwa mediasi telah gagal dan
memberikan pemberitahuan kepada majelis hakim;
- Jika mediasi gagal, maka semua fotokopi, notulen,
catatan mediator wajib dimusnahkan
Waktu dan Tempat Mediasi :
- Paling lama 30 hari, bagi mediator di luar PN dapat di
perpanjang;
- 22 hari setelah ditunjuknya mediator;
- 7 hari setelah mediator ditunjuk para pihak wajib
menyerahkan fotokopi dokumen perkara (duduk perkara, susrt-surat, dll );
- Mediasi dapat diselengarakan disalah satu ruangan
pengadialan atau tempat lain yang disepakati para pihak
Hal-hal lain yang perlu di perhatikan :
- Para pihak dapat di dampingi oleh penasehat hukum
- Para pihak wajib menhadap kembali kepada majelis haim
yang memeriksa perkara;
- Kesepakatan hasil mediasi di tandatangani oleh para
pihak dan dapat dikukuhkan majelis hakim sebagai akta perdamaian;
- Mediator dapat melakukan kaukus;
- Mediator dengan kesepakatan para pihak dapat mengundang
ahli;
- Jika mediasi gagal, maka pernyataan dan pengakuan para
pihak tidak dapat digunakan sebagai alat bukti persidangan;
- Mediator tidak dapat dijadikan saksi di pengadilan;
- Mediasi di pengadilan tidak di pungut biaya, sedangkan di
tempat lain biaya di bebenkan kepada para pihak;
- Mediasi oleh hakim tidak dipungut biaya, sedangkan
mediator bukan hakim ditangung oleh para pihak atas kesepakatan.
MEDIASI NONLITIGASI
Mediasi non litigasi adalah cara penyelesaian sengketa diluar
peradilan. Pihak ketiga yang netral dan berfungsi sebagai penengah atau
memfasilitasi mediasi tersebut yang biasa disebut mediator. Pihak ketiga
tersebut hanya boleh memberikan saran-saran yang bersifat sugestif, karena pada
dasarnya yang memutuskan untuk mengakhiri sengketa adalah para pihak. Pihak
ketiga tersebut juga harus netral sehingga dapat memberikan saran-saran yang
objektif dan tidak terkesan memihak salah satu pihak. Mediasi merupakan prosedur
wajib dalam proses pemeriksaan perkara perdata, bahkan dalam arbitrase
sekalipun dimana hakim atau arbiter wajib memerintahkan para pihak untuk
melaksanakan mediasi dan jika mediasi tersebut gagal barulah pemeriksaan
perkara dilanjutkan. Tidak semua orang bisa menjadi mediator professional
karena untuk dapat menjadi mediator dibutuhkan semacam sertifikasi khusus.
Mediasi perkara di luar pengadilan dapat juga dilakukan melalui
badan arbitrase. Arbitrase adalah cara penyelesaian sengketa yang mirip dengan
litigasi, hanya saja litigasi ini bisa dikatakan sebagai "litigasi
swasta" Dimana yang memeriksa perkara tersebut bukanlah hakim tetapi
seorang arbiter. Untuk dapat menempuh prosesi arbitrase hal pokok yang harus
ada adalah "klausula arbitrase" di dalam perjanjian yang dibuat
sebelum timbul sengketa akibat perjanjian tersebut, atau "Perjanjian
Arbitrase" dalam hal sengketa tersebut sudah timbul namun tidak ada
klausula arbitrase dalam perjanjian sebelumnya. Klausula arbitrase atau perjanjian
arbitrase tersebut berisi bahwa para pihak akan menyelesaikan sengketa melalui
arbitrase sehingga menggugurkan kewajiban pengadilan untuk memeriksa perkara
tersebut. Jika perkara tersebut tetap diajukan ke Pengadilan maka pengadilan
wajib menolak karena perkara tersebut sudah berada di luar kompetensi
pengadilan tersebut akibat adanya klausula arbitrase atau perjanjian arbitrase.
Beberapa keunggulan arbitrase dibandingkan litigasi antara lain:
- Arbitrase relatif lebih terpercaya karena Arbiter
dipilih oleh para pihak yang bersengketa. Arbiter dipilih oleh para pihak
sendiri dan merupakan jabatan yang tidak boleh dirangkap oleh pejabat
peradilan manapun. Dalam hal para pihak tidak bersepakat dalam menentukan
arbiter maka arbiter akan ditunjuk oleh ketua Pengadilan Negeri. Hal ini
berbeda dengan litigasi karena para pihak tidak dapat memilih hakim yang
memeriksa perkara. Calon arbiter yang ditunjuk juga boleh menolak
penunjukan tersebut.
2. Arbiter merupakan
orang yang ahli di bidangnya sehingga putusan yang dihasilkan akan lebih
cermat. Dalam Undang-undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian Sengketa dinyatakan bahwa salah satu syarat untuk
menjadi arbiter adalah berpengalaman aktif di bidangnya selama 15 tahun. Hal
ini tentunya berbeda dengan hakim yang mungkin saja tidak menguasai bidang yang
disengketakan sehingga harus belajar bidang tersebut sebelum memeriksa perkara.
3. Kepastian Hukum lebih
terjamin karena putusan arbitrase bersifat final dan mengikat para pihak. Pihak
yang tidak puas dengan putusan arbitrase tidak dapat mengajukan upaya hukum.
namun putusan tersebut dapat dibatalkan jika terjadi hal-hal tertentu seperti
dinyatakan palsunya bukti-bukti yang dipakai dalam pemeriksaan setelah putusan
tersebut dijatuhkan atau putusan tersebut dibuat dengan itikad tidak baik dari
arbiter.
Sedangkan kelemahannya
antara lain:
a) Biaya yang relatif
mahal karena honorarium arbiter juga harus ditanggung para pihak (atau pihak
yang kalah).
b) Putusan Arbitrase
tidak mempunyai kekuatan eksekutorial sebelum didaftarkan ke Pengadilan Negeri.
c) Ruang lingkup
arbitrase yang terbatas hanya pada sengketa bidang komersial (perdagangan,
ekspor-impor, pasar modal, dan sebagainya).
Makna Penting Mediasi
sebagai alternative penyelesaian sengketa
Tidak bisa dipungkiri bahwa upaya penyelesaian suatu perkara
demikian sulit, rumit dan berbelit-belit, demikianlah kira – kira pendapat
sebagian orang sehingga muncul wacana bahwa upaya yang telah dilakukan untuk
sedapat mungkin menyelesaikan sengketa tanpa melalui proses ligitasi, sebagai
contoh dalam menghadapi suatu sengketa para pihak yang berperkara khususnya
piak Penggugat sebagai pihak yang berinisiatif berperkara untuk sedapat mungkin
mengakhiri sengketa dengan jalur perdamaian. Karena bagaimanapun juga penyelesaian
perkara dengan jalur perdamaian senantiasa akan mendatangkan keuntungan bagi
kedua belah pihak.
Begitupun halnya keuntungan dari segi biaya, tentunya biaya yang
akan dikeluarkan akan lebih murah, karena tidak mengeluarkan biaya yang terlalu
banyak dan yang lebih penting lagi perdamaian akan mampu memulihkan hubungan
baik diantara pihak yang berperkara, lebih-lebih bila mana para pihak yang
berperkara tersebut adalah mereka yang nota bene sesama mitra usaha yang
memerlukan suasana hubungan yang bersifat kolegalitas, bisa dibanyangkan
apabila muncul persoalan diantara mereka kemudian diselesaikan melalui proses
persidangan yang pada akhirnya berakibat pada dua kubu menang dan kalah. Hal
ini tentunya akan berakibat pada pecahnya hubungan yang bersifat kolegalitas
diantara mereka. Demikian pula halnya hubungan baik antara keluarga akan
menjadi renggang bahkan putus, manakala mereka dalam menyelesaikan suatu
sengketa misalnya adanya perebutan harta warisan dan lain-lain. Untuk mencegah
agar jangan sampai hubungan keluarga menjadi berantakan hanya karena
memperebutkan suatu hak seperti yang disebutkan dalam contoh diatas, maka
penyelesaian secara damai jauh lebih bermanfaat dibandingkan sebaliknya.
Pentingnya mediasi dalam konteks ini dimaknai bukan sekedar upaya
untuk meminimalisir perkara-perkara yang masuk ke Pengadilan baik itu pada
Pengadilan tingkat pertama maupun tingkat banding, sehingga badan peradilan
dimaksud terhindar dari adanya timbunan perkara, namun lebih dari itu Mediasi
dipahami dan diterjemahkan dalam proses penyelesaian sengketa secara menyeluruh
dengan penuh kesungguhan untuk mengakhiri suatu sengketa yang tengah
berlangsung.
Walaupun dalam kenyataannya setiap perkara yang masuk ke
Pengadilan Negeri sebagian besar tidak dapat didamaikan lagi dengan upaya
perundingan, namun itu bukan berarti upaya ini kita matikan sama sekali, akan
tetapi justru itu yang menjadi tantangan bagi mediator khususnya hakim untuk
bisa memainkan perannya sebagai mediator yang ulung dengan menerapkan kemampuan
dan kemahirannya secara maksimal.
Oleh karena itu Mediasi hendaknya dijadikan sebagai lembaga
pertama dan terakhir dalam menyelesaikan sengketa antara para pencari keadilan,
karena penyelesaian sengketa melalui proses litigasi banyak yang tidak berakhir
manis, fenomena yang tak jarang kita temukan bisa menjadi suatu gambaran betapa
nestapa yang sering mengiringi para pihak yang berperkara, di satu sisi bagi
pihak yang menang ia mengeluarkan biaya yang tinggi terkadang tidak sesuai
dengan nilai ekonomis barang yang diperebutkan dan di sisi lain bagi pihak yang
kalah sering tidak dapat menerima kekalahan yang menyebabkan adanya tekanan
psikologis dan timbulnya depresi yang akhirnya bermuara pada bentuk-bentuk
tindakan anarkis. Hal demikian tentulah bukan menjadi harapan kita, karena
konflik yang terjadi antar individu bisa memicu konflik yang lebih luas,
seperti antar kelompok, dampak buruk dari hal itupun tak ayal dapat terhindar,
putusnya jalinan silaturrahmi hubungan persaudaraan, kerugian moril dan
materiil adalah contoh akibat negative dari persoalan di atas. Untuk itu, upaya
preventif dalam setiap upaya penyelesaian persoalan harus dikedepankan,
mencegah penyebab konflik berarti mencegah adanya kemudaratan.
Prinsipnya suatu peraturan dibuat adalah untuk dijalankan,
demikian juga halnya dengan PERMA Nomor 2 Tahun 2003. Islam adalah agama damai,
yang berperkara di Pengadilan adalah Agama adalah orang-orang yang beragama
Islam dan masih dalam ikatan keluarga, peluang untuk dapat didamaikan lebih
besar dibandingkan dengan perkara-perkara pada Peradilan Umum, oleh karenanya
upaya mendamaikan secara sungguh-sungguh sangat diharapkan, sekalipun menurut
tehnik dan cara tersendiri di luar PERMA tersebut, hal ini Pengadilan Agama
dapat dikecualikan, karena ada kekhususan, khusus menangani orang-orang Islam
(orang-orang yang cinta damai), dan khusus sengketa dalam keluarga (family
law).
B.
KONSILIASI
Konsiliasi adalah penyelesaian
sengketa diluar pengadilan dengan bantuan pihak ketiga yang disebut
konsiliator. Konsiliator dalam proses konsiliasi, memiliki peran yang cukup
berarti, oleh karena konsiliator berkewajiban untuk menyampaikan pendapatnya
mengenai duduk persoalan dari masalah atau sengeketa yang dihadapi, bagaimana
cara penyelesaian sengketa yang terbaik, apa keuntungan dan kerugian bagi para
pihak, serta akibat hukumnya.
Meskipun konsiliator
memiliki hak dan kewenangan untuk menyampaikan pendapatnya secara terbuka dan
tidak memihak kepada salah satu dalam sengketa, konsiliator tidak berhak untuk
membuat putusan dalam sengketa atas nama para pihak. Jadi konsiliator bersifat
pasif terhadap putusan yang akan diambil atau hasil akhir proses konsiliasi.
Jadi, dalam proses konsiliasi, putusan akan diambil sepenuhnya oleh para pihak
yang bersengketa yang kemudian dituangkan dalam kesepakatan bersama.
Dalam Undang-Undang No. 30
Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa, Konsiliasi
sebagai salah satu alternative penyelesaian sengketa disebut dalam ketentuan
pasal 1 (10) yang menentukan:
Alternative penyelesaian
sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui
prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian diluar pengadilan
dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
Namun demikian, dalam
Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tidak ditemukan satupu ketentuan yang mengatur
lebih lanjut tentang alternative penyelesian sengketa melalui konsiliasi.
Dalam PP No. 54 Tahun 2000 tentang
Lembaga Penyedia Jasa pelayanan penyelesaian sengketa lingkungan hidup diluar
pengadilan, juga tidak diatur tentang konsiliasi. Ketentuan pasal 20 hanya
menentukan bahwa para pihak yang bersengketa berhak untuk memilih dan menunjuk
mediator atau pihak ketiga lainnya dari lembaga penyedia jasa yang dibentuk
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 12 ayat (1). Namun, tidak
dijelaskan lebih lanjut tentang siapa pihak ketiga lainnya itu.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia,
konsiliasi diartikan sebagai usaha mempertemukan keinginan pihak yang
bersengketa untuk mencapai persetujuan dan menyelesaikan perselisihan atau bisa
diartikan sebagai upaya untuk membawa pihak yang bersengketa untuk
menyelesaikan permasalahan antara kedua pihak secara negosiasi. Konsiliasi juga
dapat dipakai apabila mediasi gagal. Mediator dalam konsiliasi bisa berubah
fungsi menjadi konsiliator, dan jika tercapai kesepakatan, maka konsiliator
berubah menjadi arbiter yang keputusannya dapat mengikat kedua pihak yang
bersengketa.
C.
PENCARI
FAKTA
Pencari fakta dalam bahasa
inggris disebut inqury atau fact finding. Tujuan dari pencari fakta adalah
menyelidiki fakta-fakta yang menjadi sebab sengketa dan kemudian memberikan
laporan kepada para pihak mengenai fakta yang ditelitinya. Dengan adanya
pencarian fakta-fakta demikian, diharapkan proses penyelesaian sengketa
diantara para pihak dapat segera diselesaikan.
Disamping tugasnya untuk
mencari fakta, pihak pencari fakta biasanya juga mempunyai kewenangan untuk
memberikan rekomendasi penyelesaian masalah. Bahkan rekomendasi dari pencari
fakta dapat dipublikasikan kepada umum. Secara umum tugas dari pencari fakta
adalah sebagai berikut:
1. Mengumpulkan
fakta.
2. Memverifikasi
fakta.
3. Menginterprestasi
fakta.
4. Melakukan
wawancara dan hearing.
5. Menarik
kesimpulan tertentu.
6. Memberikan
rekomendasi.
7. Mempublikasi.
Pencarian fakta sangat diperlukan dalam penyelesaian
sengketa lingkungan hidup. Fakta-fakta sangat dibutuhkan dalam proses negosiasi
ataupun mediasi. Pencarian fakta ini dilakukan oleh pihak yang netral yang
bertugas mengumpulkan bahan-bahan keterangan untuk dapat dilakukan evaluasi
dengan tujuan memperjelas masalah-masalah yang menimbulkan sengketa. Adapun
yang bisa dilakukan oleh tim pencari fakta tesebut adalah :
1. Pemeriksaan
kebenaran pengaduan.
2. Meneliti
sumber pencemaran lingkungan hidup
3. Meneliti
tingkat pencemaran suatu lingkungan hidup.
4. Meneliti
siapa pihak yang paling bertanggung jawab terhadap perusakan lingkungan hidup.
Hasil dari tim pencari fakta tersebut akan sangat berguna
untuk menentukan keputusan terhadap perselisihan sengketa lingkungan hidup.
D.
ARBITRASE
Definisi Arbitrase
Kata “arbitrase” berasal dari bahasa asing yaitu “arbitrare”.
Arbitrase juga dikenal dengan sebutan atau istilah lain yang mempunyai arti
sama, seperti : perwasitan atau arbitrage (Belanda), arbitration (Inggris), arbitrage
atau schiedsruch (Jerman), arbitrage (Prancis) yang berarti kekuasaan
menyelesaikan sesuatu menurut kebijaksanaan. Arbitrase di Indonesia dikenal
dengan “perwasitan” secara lebih jelas dapat dilihat dalam Undang-undang No. 1
Tahun 1950, yang mengaturtentang acara dalam tingkat banding terhadap
putusan-putusan wasit, dengan demikian orang yang ditunjuk mengatasi sengketa
tersebut adalah wasit atau biasa disebut “arbiter”.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan
pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang
bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
1. Factum de
compromitendo yaitu klausa arbitrase yang tercantum dalam suatau perjanjian
tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa.
2. Akta Kompromis yaitu
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.
Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal
615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3
ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman
menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian
atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
Jenis-Jenis Arbitrase
Arbitrase dapat berupa arbitrase sementara (ad-hoc) maupun
arbitrase melalui badan permanen (institusi). Arbitrase Ad-hoc dilaksanakan
berdasarkan aturan-aturan yang sengaja di bentuk untuk tujuan arbitrase,
misalnya Undang-undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. Pada umumnya arbitrase ad-hoc ditentukan berdasarkan
perjanjian yang menyebutkan penunjukan majelis arbitrase serta prosedur
pelaksanaan yang yang telah disepakati oleh para pihak.
Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai
badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat
ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan
arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang
internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of
Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre
for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan
tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
LINGKUP ARBITRASE
Objek perjanjian arbitrase (sengketa yang akan diselesaikan di
luar pengadilan melalui lembaga arbitrase dan atau lembaga alternatif
penyelesaian sengketa lainnya) menurut Pasal 5 ayat 1 Undang Undang Nomor 30
tahun 1999 (“UU Arbitrase”) hanyalah sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan,
perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual.
Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa
sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase
adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal
1851 s/d 1854.
PENYELESAIAN SENGKETA MELALUI ARBITRASE
A. Sengketa Dagang
Sengketa atau perselisihan dalam kegiatan dagang sebenarnya
sesuatu yang tidak diharapkan terjadi, karena akan merugikan pihak-pihak yang
bersengketa. Oleh sebab itu, kemungkinan terjadinya sengketa dagang perlu
diminimalisasi atau dihindari, meskipun demikian terkadang sengketa tidak dapat
dihindari karena adanya kesalahpahaman, dan pelanggaran oleh salah salah satu
pihak, atau timbul kepentingan yang berlawanan. Perbedaan paham, perselisihan
pendapat, pertentangan maupun sengketa tersebut tidak dapat dibiarkan
berlarut-larut dan harus diselesaikan secara memuaskan bagi semua pihak.
Meskipun tiap-tiap masyarakat memiliki cara sendiri-sendiri untuk menyelesaikan
perselisihan tersebut, akan tetapi perkembangan dunia usaha yang berkembang
secara universal dan global mulai mengenal bentuk-bentuk penyelesaian sengketa
yang homogen, “menguntungkan” dan memberikan rasa “aman” dan keadilan bagi para
pihak.
PERADILAN ARBITRASE
Salah satu alternatif yang dapat ditempuh apabila terjadi
sengketa adalah dengan menggunakan arbitrase sebagai peradilan swasta,
arbitrase ini dapat dijadikan solusi terbaik dari perselisihan yang terjadi,
karena penyelesaian sengketa melalui peradilan wasit (arbitrase) memiliki arti
penting dibanding dengan pengadilan resmi seperti yang dikemukakan oleh HMN
Purwosutjipto, diantaranya:
1. Penyelesaian sengketa
dapat dilaksanakan dengan cepat.
2. Para wasit terdiri
dari orang-orang ahli dalam bidang yang diper-sengketakan, yang diharapkan
mampu membuat putusan yang memuaskan para pihak.
3. Putusan akan lebih
sesuai dengan perasaan keadilan para pihak.
4. Putusan peradilan
wasit dirahasiakan, sehingga umum tidak mengetahui tentang kelemahan-kelemahan
perusahaan yang bersangkutan. Sifat rahasia pada putusan perwasitan inilah yang
dikehendaki oleh para pengusaha.
Apabila para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik
secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak, yang dengan tegas
memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama dan
terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undang-undang sesuai dengan asas
keperdataan yang diatur dalam pasal 133 K.U.H perdata.
Dengan demikian pihak-pihak yang berselisih memilih cara
penyelesaian sengketa antara mereka dengan mengangkat seorang arbiter atau
lebih, yang bertindak sebagai penengah (arbitrator) dan memiliki kekuasaan
untuk memutus (arbitrator power) menurut kebijaksanaanya.
PUTUSAN ARBITRASE
Dalam menyelesaikan perselisihan dalam prakteknya para arbiter
memutuskan sebagai orang-orang baik, menurut keadaan dan kepatuhan. Hal ini
sesuai dengan prinsip-prinsip umum mengenai kontrak dalam hukum, yang harus
dilaksanakan dengan itikad baik sesuai dengan ketentuan pasal K.U.H perdata.
Para arbiter yang diberikan kekuasaan untuk memberikan keputusan sesuai dengan
keadilan maka keputusan harus sesuai dengan peraturan yang berlaku, mereka juga
terikat memberikan alasan-alasan untuk keputusan mereka dan memperhatikan
peraturan-peraturan hukum.
Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar
perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur
kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang
bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang memeriksa
sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas menetukan acara
arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Putusan arbitrase harus diambil menurut peraturan hukum yang
berlaku, kecuali dalam klausula atau persetujuan arbitrase tersebut telah
diberikan kekuasaan kepada (para) arbiter untuk memutus menurut kebijaksanaan
(ex aequo et bonu) (pasal 631 Rv). Dalam hal ini putusan yang diambil harus
menyebutkan nama-nama dan tempat tinggal para pihak berikut amar putusan nya,
yang disertai dengan alasan- dan dasar pertimbangan yang dipergunakan (para)
arbiter dalam mengambil putusan , tanggal diambilnya putusan, dan tempat dimana
putusan diambil, yang ditnda tangani oleh (para) arbiter. Dalam hal salah
seorang arbiter menolak menandatangani putusan, hal ini harus dicantumkan dalam
putusan tersebut, agar putusan ini berkekuatan sama dengan putusan yang ditanda
tangani oleh semua arbiter. (pasal 632 jo pasal 633 Rv)
Penyebutan tanggal dan tempat putusan diambil merupakan hal yang
penting, karena terhitung empat belas hari dari sejak putusan dikeluarkan,
putusan tersebut harus didaftarkan di kantor Panitera Pengadilan Negeri
setempat, yaitu tempat dimana putusan arbitrase telah diambil (pasal 634 ayat
(1) Rv). Putusan arbitrase tersebut hanya dapat dieksekusi , jika telah
memperoleh perintah dari Ketua Pengadilan Negeri tempat putusan itu
didaftarkan, yang berwujud pencantuman irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA” pada bagian atas dari asli putusan arbitrase tersebut
. selanjutnya putusan arbitrase yang telah memperoleh irah-irah “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” tersebut dapat dilaksanakan menurut
tatacara yang biasa berlaku bagi pelaksanaan suatu putusan pengadilan (pasal
639 Rv).
Menurut ketentuan pasal 641 ayat (1) Rv, terhadap putusan
arbitrase yang mempunyai nilai perselisihan pokok lebih dari 500 rupiah
dimungkinkan untuk banding kepada Mahkamah Agung. Selanjutnya dalam pasal 15
Undang-undang Nomor 1/1950 tentang Susunan, Kekuasaan, dan Jalan pengadilan
Mahkamah Agung Indonesia ditentukan pula bahwa hanya putusan dengan pokok
perselisihan yang memiliki nilai lebih dari 25.000 rupiah saja yang dapat
dimintakan bandingnya kepada Mahkamah Agung. Walaupun menurut kedua ketentuan
tersebut, putusan arbitrase dapat dimintakan banding, ketentuan pasal 642 Rv.
Dengan jelas menyebutkan bahwa tiada kasasi maupun peninjauan kembali dapat
diajukan terhadap suatu putusan arbitrase, meskipun para pihak telah memperjanjian
yang demikian dalam persetujuan mereka. Dapat ditambahkan disini bahwa
kemungkinan untuk meminta banding, seperti disebut diatas, dapat dikesampingkan
oleh para pihak dengan mencantumkan secara tegas kehendak tersebut dalam
klausula atau persetujuan arbitrase yang mereka buat tersebut (Pasal 641 ayat
(1) Rv)
PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE
Pelaksanaan putusan arbitrase dibedakan menjadi dua yaitu
putusan arbitrase nasional dan putusan arbitrase asing (internasional). Putusan
arbitrase nasional adalah putusan arbitrase baik ad-hoc maupun institusional,
yang diputuskan di wilayah Republik Indonesia. Sedangkan, putusan arbitrase
asing adalah putusan arbitrase yang diputuskan di luar negeri.
1. Putusan Arbitrase
Nasional
Pelaksanaan putusan
arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59-64 UU No.30 Tahun 1999. Pada dasarnya
para pihak harus melaksanakan putusan secara sukarela. Agar putusan arbitrase
dapat dipaksakan pelaksanaanya, putusan tersebut harus diserahkan dan
didaftarkan pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan dan
menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh
arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga
puluh) hari setelah putusan arbitase diucapkan. Putusan Arbitrase nasional bersifat
mandiri, final dan mengikat.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti
putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri
tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri,
terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional
yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30
Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa
dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk
arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri
dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya
hukum apapun.
2. Putusan Arbitrase
Asing (Internasional)
Semula pelaksanaan
putusan-putusan arbitrase asing di indonesia didasarkan pada ketentuan Konvensi
Jenewa 1927, dan pemerintah Belanda yang merupakan negara peserta konvensi
tersebut menyatakan bahwa Konvensi berlaku juga di wilayah Indonesia. Pada
tanggal 10 Juni 1958 di New York ditandatangani UN Convention on the
Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Award. Indonesia telah
mengaksesi Konvensi New York tersebut dengan Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun
1981 pada 5 Agustus 1981 dan didaftar di Sekretaris PBB pada 7 Oktober 1981.
Pada 1 Maret 1990 Mahkamah Agung mengeluarkan Peraturan mahkamah Agung Nomor 1
tahun 1990 tentang Tata Cara Pelaksanaan Putusan arbitrase Asing sehubungan
dengan disahkannya Konvensi New York 1958. Dengan adanya Perma tersebut
hambatan bagi pelaksanaan putusan arbitrase asing di Indonesia seharusnya bisa
diatasi. Tapi dalam prakteknya kesulitan-kesulitan masih ditemui dalam eksekusi
putusan arbitrase asing.
HAPUSNYA PERJANJIAN ARBITRASE
Perjanjian arbitrase dinyatakan batal, apabila
dalam proses penyelesaian sengketa terjadi peristiwa-peristiwa:
1.
Salah satu dari pihak yang bersengketa meninggal dunia.
2.
Salah satu dari pihak yang bersengketa mengalami kebangkrutan,
novasi (pembaharuan utang), dan insolvensi.
3.
Pewarisan.
4.
Hapusnya syarat-syarat perikatan pokok.
5.
Pelaksanaan perjanjian arbitrase dialihtugaskan pada pihak
ketiga dengan persetujuan pihak yang melakukan perjanjian arbitrase tersebut.
6.
Berakhirnya atau batalnya perjanjian pokok.
Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-undang No.30 Tahun 1999, arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di luar pengadilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Pada dasarnya arbitrase dapat berwujud dalam dua bentuk, yaitu:
Sebelum UU arbitrase berlaku, ketentuan mengenai arbitrase diatur dalam pasal 615 s/d 651 Reglemen Acara Perdata (Rv). Selain itu, pada penjelasan pasal 3 ayat 1 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Pokok-pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit (arbitrase) tetap diperbolehkan.
Arbitrase insitusi adalah suatu lembaga permanen yang dikelola oleh berbagai badan arbitrase berdasarkan aturan-aturan yang mereka tentukan sendiri. Saat ini dikenal berbagai aturan arbitrase yang dikeluarkan oleh badan-badan arbitrase seperti Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI), maupun yang internasional seperti The Rules of Arbitration dari International Chamber of Commerce (ICC) di Paris, The Arbitration Rules dari The International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) di Washington. Badan-badan tersebut mempunyai peraturan dan sistem arbitrase sendiri-sendiri.
Adapun kegiatan dalam bidang perdagangan itu antara lain: perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri dan hak milik intelektual. Sementara itu Pasal 5 (2) UU Arbitrase memberikan perumusan negatif bahwa sengketa-sengketa yang dianggap tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian sebagaimana diatur dalam KUH Perdata Buku III bab kedelapan belas Pasal 1851 s/d 1854.
Apabila para pihak telah memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase baik secara tertulis dalam kontrak maupun diluar kontrak, yang dengan tegas memberikan kewenangan kepada arbiter untuk memutus pada tingkat pertama dan terakhir, maka hal ini mengikat mereka sebagai Undang-undang sesuai dengan asas keperdataan yang diatur dalam pasal 133 K.U.H perdata.
Pemeriksaan dalam arbitrase dapat mengikutsertakan pihak ketiga di luar perjanjian dalam proses penyelesaian sengketa dengan syarat terdapat unsur kepentingan yang terkait, keikutsertaannya disepakati oleh para pihak yang bersengketa, dan juga disetujui oleh arbiter atau majelis yang memeriksa sengketa yang besangkutan (Pasal 30). Para pihak bebas menetukan acara arbitrase yang akan digunakan selama tidak bertentangan dengan Undang-undang.
Putusan Arbitrase nasional bersifat mandiri, final dan mengikat (seperti putusan yang mempunyai kekeuatan hukum tetap) sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase. Berdasar Pasal 62 UU No.30 Tahun 1999 sebelum memberi perintah pelaksanaan , Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase memenuhi Pasal 4 dan pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.