Rabu, 16 Januari 2013

Kewenangan Peradilan Agama



MAKALAH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
“Kewenangan Peradilan Agama”


Disusun oleh :

Nama       : Vany Lucas
Nim          : 1008015141
Kelas       : B





Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman
Tahun Ajaran
2012



Kata Pengantar

Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa ,  karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas “Kewenangan Peradilan Agama”. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman masalah Kewenangan Peradilan Agama dengan baik.
Dalam  proses pendalaman materi ini,  tentunya saya mendapatkan bimbingan dan arahan, serta saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya  saya sampaikan :
  • Ibu Dosen mata kuliah Hukum Sumber Daya Alam
  • Dan Orang Tua
  • Yang Terkasih
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,





                                                                                                Samarinda,  28 September 2012
                                                                                                  
                                                                                                  Vany Lucas


DAFTAR ISI
A.   BAB I
Latar Belakang…………………………………………………………………… 1
Rumusan Masalah……………………………………………………………….  1
B.   BAB II
Pembahasan………………………………………………………………………. 3
            DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 10


BAB I
A.    Latar Belakang
Kata “kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari ahasa Belanda competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Kewenangan ?
2.      Apa saja yang merupakan Kewenangan dalam Peradilan Agama?

                                                            BAB II
Pembahasan

Kata “kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari ahasa Belanda competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relative” dan “kekuasaan absolut”, sekaligus diicarakan pula di dalamnya tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.
A.    Kekuasaan Relative
Kekuasaan relative diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam peredaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Magelang dengan Pengadilan Agama Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan negeri Purworejo satu jenis, sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturajasatu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.
Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989 berbunyi :

Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi kotamadya atau kabupaten.

Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi :

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.

Jadi, tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hokum tertentu atau dikatakan mempunyai “yuridiksi relative” tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang.
Yuridiksi relative ini mempunyai arti penting sehuungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehuungan dengan hak eksepsi tergugat.

B.     Kekuasaan Absolut
Kekuasaan absolute artinya kekuasaan Pengadilan yang erhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara  atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang Beragama Islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkra dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap kekuasaan absolute ini, Pengadilan Agamadiharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau ukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keeratan yang disebut “eksepsi absolute” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja, malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolute ini termasuk salah-satu di antara tiga alas an yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah agung untuk membatalkan Putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya.




C.     Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan Peradilan Agama
Kata “kekuasaan” disini maksudnya kekuasaan absolute. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, kekuasaan absolute tersebut sering disingkat dengan kata “kekuasaan” saja, misalnya :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari badan-adan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Kekuasaan absolute Pengadilan Agama diseutkan dalam Pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 tahun 1989, yang berbunyi:
Pasal 49
(1)   Pengadilan Agama ertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.       Perkawinan;
b.      Kewarisan. Wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hokum islam;
c.       Wakaf dan shadaqah
(2)   Bidang perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan atau yang berlaku.
(3)   Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai ojek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus leih dahulu oleh pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 50:
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu.
1.      Perkara perkawinan
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Than 1974, ialah:
1)      Izin beristri lebih dari seorang;
2)      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam halo rang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3)      Dispensasi kawin;
4)      Pencegahan perkawinan;
5)      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6)      Pembatalan perkawinan;
7)      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8)      Perceraian karena talak;
9)      Gugatan percerian;
10)   Penyelesaian harta bersama;
11)   Mengenai penguasaan anak-anak;
12)   Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawa tidak memenuhinya;
13)  Penentuan kewajiban memeri biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban agi bekas isteri;
14)   Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15)   Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16)  Pencabutan kekuasaan wali;
17)  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicaut;
18)  Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang elum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19)  Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20)  Penetapan asal usul seorang anak;
21)  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22)  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sehubungan dengan jenis-jenis perkara dibidang perkawinan diatas, mungkin menimulkan pertanyaan bagaimana pengertian kata-kata”antara orang-orang yang beragama islam” seperti yang disebutkan dalam pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989, jika seumpama suami-isteri erlainan agama ( suami Islam, Isteri non islam atau sebaliknya), atau suami istri pindah agama sesudah kawin, baik kedua-duanya atau hanya salah satu saja? Begitu pula bagaimana kalau calon suami dan calon isteri berlainan agama dan salah satunya misalnya memerlukan izin kawin dari Pengadilan Agama ? selanjutnya bagaimana pula misalnya seorang anak (baru berusia 12 tahun) mau menggugat nafkah anak terhadap ayah dan ibunya karena ayah dan ibunya sudah bercerai dan tidak lagi tinggal serumah dengan anaknya , padahal ayahnya beragama non islam, ibunya beragama islam dan perkawinan ayah-ibunya dahulu tercatat di PPN ( Pegawai Pencatat Nikah ).
2.      Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah
Menurut pasal 49 ayat (3) berbunyi:
Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan terseut.
Adapun tentang wasiat dan hibah tidak ada penjelasan lain. Oleh karena itu, sekarang yang perlu kita jelaskan meliputi tentang : (1) penentuan siapa-siapa ahli waris,(2) penentuan mengenai harta peninggalan, (3) penentuan bagian masing-masing ahli waris, (4) melaksanakan pembagian harta peninggalan, (5) wasiat, (6) hibah.
Hibah tidak ada kaitannya dengan kewafatan seseorang, sea hibah itu diuat sewaktu pemberi hibah masih hidup dan sudah dilaksanakan penyerahannya kepada penerima hiah sewaktu pemberi hibah masih hidup.
3.      Perkara wakaf dan shadaqah
Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dengan menteri pendidikan dan kebudayaan tanggal 10 September 1987, Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987, tenteng Pembakuan Pedoman Transliterasi arab Latin, wakaf dan shadaqah, yang kedua-duanya berasal dari bahasa Ara itu, seianya dituliskan waqaf dan shadaqah.

Wakaf adalah suatu ibadah dengan cara menjadikan suatu benda miliknya, yang kekal zatnya, menjadi tetap untuk selamanya, diamil manfaatnya agi kepentingan kebaikan (kepentingan ummat manusia). Benda wakaf mendapat keduduka yang tetap, tidak boleh dijualbelikan atau digadaikan atau diwariskan atau dihiahkan dan lain sebagainya, untuk selama-lamanya
Shadaqah memberikan benda atau barang, baik berupa benda bergerak atau tetap, yang segera habis bila dipakai ataupun tidak, kepada orang lain atau badan hukum seperti yayasan atau sejenis itu, tanpa imbalan dan tanpa syarat melainkan semata-mata karena Allah SWT.




D.    Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan Agama.
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama, yaitu sebagai berikut :
1.      Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989
Dimana dalam pasal ini erkenaan dengan sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49.
2.      Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2
Kewarisan adalah : mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksana pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan terseut dilakukan berdasarkan hukum islam.
3.      Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989:
Dimana berunyi :
Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tentang hal itu.


DAFTAR PUSTAKA

A.    Alquran Al-Karim
B.     Hadis
·         As-san’any, Muhammad bin Isma’il Al Kahlany, Suul as-salam, Dahlan, Bandung, tt.
C.    Fiqh
·         At-Tarablisy, ‘alau ad-Di, 1973, Mu’in al Hukkam, Mustafa al Baby al-halay, Mesir.
D.    Peraturan perundang-undangan
·         UU No. 7 Tahun 1989
·         UUD 1945
E.     Dari mahkamah Agung
·         SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 9 tahun 1964, tentang Putusan Verstek.
F.     Umum
·         Mahadi, S.H., Prof., Peranan Peradilan Agama di Indonesia, Prasaran pada simposium Sejarah Peradilan Agama, 8-10 April 1982 di Bogor.






Kewenangan Peradilan Agama



MAKALAH
HUKUM ACARA PERADILAN AGAMA
“Kewenangan Peradilan Agama”


Disusun oleh :

Nama       : Vany Lucas
Nim          : 1008015141
Kelas       : B





Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman
Tahun Ajaran
2012



Kata Pengantar

Rasa syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa ,  karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas “Kewenangan Peradilan Agama”. Makalah ini dibuat dalam rangka memperdalam  pemahaman masalah Kewenangan Peradilan Agama dengan baik.
Dalam  proses pendalaman materi ini,  tentunya saya mendapatkan bimbingan dan arahan, serta saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya  saya sampaikan :
  • Ibu Dosen mata kuliah Hukum Sumber Daya Alam
  • Dan Orang Tua
  • Yang Terkasih
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat,





                                                                                                Samarinda,  28 September 2012
                                                                                                  
                                                                                                  Vany Lucas


DAFTAR ISI
A.   BAB I
Latar Belakang…………………………………………………………………… 1
Rumusan Masalah……………………………………………………………….  1
B.   BAB II
Pembahasan………………………………………………………………………. 3
            DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………………… 10


BAB I
A.    Latar Belakang
Kata “kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari ahasa Belanda competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Kewenangan ?
2.      Apa saja yang merupakan Kewenangan dalam Peradilan Agama?

                                                            BAB II
Pembahasan

Kata “kekuasaan” disini sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari ahasa Belanda competentie, yang kadang-kadang diterjemahkan juga dengan “kewenangan, sehingga ketiga kata tersebut dianggap semakna.
Berbicara tentang kekuasaan peradilan dalam kaitannya dengan Hukum Acara Perdata, biasanya menyangkut dua hal, yaitu tentang “kekuasaan relative” dan “kekuasaan absolut”, sekaligus diicarakan pula di dalamnya tentang tempat mengajukan gugatan/permohonan serta jenis perkara yang menjadi kekuasaan pengadilan.
A.    Kekuasaan Relative
Kekuasaan relative diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam peredaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya, misalnya antara Pengadilan Agama Magelang dengan Pengadilan Agama Purworejo, antara Pengadilan Agama Muara Enim dengan Pengadilan Agama Baturaja.
Pengadilan Negeri Magelang dan Pengadilan negeri Purworejo satu jenis, sama-sama lingkungan Peradilan Umum dan sama-sama Pengadilan tingkat pertama. Pengadilan Agama Muara Enim dan Pengadilan Agama Baturajasatu jenis, yaitu sama-sama lingkungan Peradilan Agama dan satu tingkatan, sama-sama tingkat pertama.
Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 7 tahun 1989 berbunyi :

Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi kotamadya atau kabupaten.

Pada penjelasan Pasal 4 ayat (1) berbunyi :

Pada dasarnya tempat kedudukan Pengadilan Agama ada di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, yang daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten, tetapi tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.

Jadi, tiap-tiap Pengadilan Agama mempunyai wilayah hokum tertentu atau dikatakan mempunyai “yuridiksi relative” tertentu, dalam hal ini meliputi satu kotamadya atau satu kabupaten, atau dalam keadaan tertentu sebagai pengecualian, mungkin lebih atau mungkin kurang.
Yuridiksi relative ini mempunyai arti penting sehuungan dengan ke Pengadilan Agama mana orang akan mengajukan perkaranya dan sehuungan dengan hak eksepsi tergugat.

B.     Kekuasaan Absolut
Kekuasaan absolute artinya kekuasaan Pengadilan yang erhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaanya dengan jenis perkara  atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya:
Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang Beragama Islam sedangkan bagi yang selain islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.
Pengadilan Agamalah yang berkuasa memeriksa dan mengadili perkra dalam tingkat pertama, tidak boleh langsung berperkara di Pengadilan Tinggi Agama atau di Mahkamah Agung.
Banding dari Pengadilan Agama diajukan ke Pengadilan Tinggi Agama, tidak boleh diajukan ke Pengadilan Tinggi.
Terhadap kekuasaan absolute ini, Pengadilan Agamadiharuskan untuk meneliti perkara yang diajukan kepadanya apakah termasuk kekuasaan absolutnya atau ukan. Kalau jelas-jelas tidak termasuk kekuasaan absolutnya, Pengadilan Agama dilarang menerimanya. Jika Pengadilan Agama menerimanya juga maka pihak tergugat dapat mengajukan keeratan yang disebut “eksepsi absolute” dan jenis eksepsi ini boleh diajukan sejak tergugat menjawab pertama gugatan bahkan boleh diajukan kapan saja, malahan sampai di tingkat banding atau di tingkat kasasi. Pada tingkat kasasi, eksepsi absolute ini termasuk salah-satu di antara tiga alas an yang membolehkan orang memohon kasasi dan dapat dijadikan alasan oleh Mahkamah agung untuk membatalkan Putusan Pengadilan Agama yang telah melampaui batas kekuasaan absolutnya.




C.     Jenis Perkara yang Menjadi Kekuasaan Peradilan Agama
Kata “kekuasaan” disini maksudnya kekuasaan absolute. Dalam berbagai peraturan perundang-undangan, kekuasaan absolute tersebut sering disingkat dengan kata “kekuasaan” saja, misalnya :
Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang.
Susunan, Kekuasaan serta Acara dari badan-adan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat (1) diatur dalam undang-undang.
Kekuasaan absolute Pengadilan Agama diseutkan dalam Pasal 49 dan 50 UU Nomor 7 tahun 1989, yang berbunyi:
Pasal 49
(1)   Pengadilan Agama ertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara ditingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang:
a.       Perkawinan;
b.      Kewarisan. Wasiat dan hibah, yang dilakukan berdasarkan hokum islam;
c.       Wakaf dan shadaqah
(2)   Bidang perkawinan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a. ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan atau yang berlaku.
(3)   Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.

Pasal 50
Dalam hal terjadi sengketa mengenai hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49, maka khusus mengenai ojek yang menjadi sengketa tersebut harus diputus leih dahulu oleh pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum.
Penjelasan pasal 50:
Penyelesaian terhadap objek yang menjadi sengketa dimaksud tidak berarti menghentikan proses peradilan di Pengadilan Agama atas objek yang tidak menjadi sengketa itu.
1.      Perkara perkawinan
Yang dimaksud dengan bidang perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Than 1974, ialah:
1)      Izin beristri lebih dari seorang;
2)      Izin melangsungkan perkawinan bagi orang yang belum berusia 21 tahun, dalam halo rang tua atau wali atau keluarga dalam garis lurus ada perbedaan pendapat;
3)      Dispensasi kawin;
4)      Pencegahan perkawinan;
5)      Penolakan perkawinan oleh Pegawai Pencatat Nikah;
6)      Pembatalan perkawinan;
7)      Gugatan kelalaian atas kewajiban suami atau isteri;
8)      Perceraian karena talak;
9)      Gugatan percerian;
10)   Penyelesaian harta bersama;
11)   Mengenai penguasaan anak-anak;
12)   Ibu dapat memikul biaya pemeliharaan dan pendidikan anak bilamana bapak yang seharusnya bertanggung jawa tidak memenuhinya;
13)  Penentuan kewajiban memeri biaya penghidupan oleh suami kepada bekas isteri atau penentuan suatu kewajiban agi bekas isteri;
14)   Putusan tentang sah atau tidaknya seorang anak;
15)   Putusan tentang pencabutan kekuasaan orang tua;
16)  Pencabutan kekuasaan wali;
17)  Penunjukan orang lain sebagai wali oleh pengadilan dalam hal kekuasaan seorang wali dicaut;
18)  Menunjuk seorang wali dalam hal seorang anak yang elum cukup umur 18 (delapan belas) tahun yang ditinggal kedua orang tuanya padahal tidak ada penunjukan wali oleh orang tuanya;
19)  Pembebanan kewajiban ganti kerugian terhadap wali yang telah menyebabkan kerugian atas harta benda anak yang ada dibawah kekuasaannya;
20)  Penetapan asal usul seorang anak;
21)  Putusan tentang hal penolakan pemberian keterangan untuk melakukan perkawinan campuran;
22)  Pernyataan tentang sahnya perkawinan yang terjadi sebelum UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan dijalankan menurut peraturan yang lain.
Sehubungan dengan jenis-jenis perkara dibidang perkawinan diatas, mungkin menimulkan pertanyaan bagaimana pengertian kata-kata”antara orang-orang yang beragama islam” seperti yang disebutkan dalam pasal 49 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989, jika seumpama suami-isteri erlainan agama ( suami Islam, Isteri non islam atau sebaliknya), atau suami istri pindah agama sesudah kawin, baik kedua-duanya atau hanya salah satu saja? Begitu pula bagaimana kalau calon suami dan calon isteri berlainan agama dan salah satunya misalnya memerlukan izin kawin dari Pengadilan Agama ? selanjutnya bagaimana pula misalnya seorang anak (baru berusia 12 tahun) mau menggugat nafkah anak terhadap ayah dan ibunya karena ayah dan ibunya sudah bercerai dan tidak lagi tinggal serumah dengan anaknya , padahal ayahnya beragama non islam, ibunya beragama islam dan perkawinan ayah-ibunya dahulu tercatat di PPN ( Pegawai Pencatat Nikah ).
2.      Perkara Kewarisan, Wasiat dan Hibah
Menurut pasal 49 ayat (3) berbunyi:
Bidang kewarisan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf b. ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris dan melaksanakan pembagian harta peninggalan terseut.
Adapun tentang wasiat dan hibah tidak ada penjelasan lain. Oleh karena itu, sekarang yang perlu kita jelaskan meliputi tentang : (1) penentuan siapa-siapa ahli waris,(2) penentuan mengenai harta peninggalan, (3) penentuan bagian masing-masing ahli waris, (4) melaksanakan pembagian harta peninggalan, (5) wasiat, (6) hibah.
Hibah tidak ada kaitannya dengan kewafatan seseorang, sea hibah itu diuat sewaktu pemberi hibah masih hidup dan sudah dilaksanakan penyerahannya kepada penerima hiah sewaktu pemberi hibah masih hidup.
3.      Perkara wakaf dan shadaqah
Menurut Surat Keputusan Bersama Menteri Agama dengan menteri pendidikan dan kebudayaan tanggal 10 September 1987, Nomor 58/1987 dan Nomor 0534 b/U/1987, tenteng Pembakuan Pedoman Transliterasi arab Latin, wakaf dan shadaqah, yang kedua-duanya berasal dari bahasa Ara itu, seianya dituliskan waqaf dan shadaqah.

Wakaf adalah suatu ibadah dengan cara menjadikan suatu benda miliknya, yang kekal zatnya, menjadi tetap untuk selamanya, diamil manfaatnya agi kepentingan kebaikan (kepentingan ummat manusia). Benda wakaf mendapat keduduka yang tetap, tidak boleh dijualbelikan atau digadaikan atau diwariskan atau dihiahkan dan lain sebagainya, untuk selama-lamanya
Shadaqah memberikan benda atau barang, baik berupa benda bergerak atau tetap, yang segera habis bila dipakai ataupun tidak, kepada orang lain atau badan hukum seperti yayasan atau sejenis itu, tanpa imbalan dan tanpa syarat melainkan semata-mata karena Allah SWT.




D.    Ganjalan Terhadap Kekuasaan Peradilan Agama.
Ada tiga hal yang perlu dikemukakan, yang kemungkinan akan menjadi ganjalan dalam pelaksanaan kekuasaan Peradilan Agama, yaitu sebagai berikut :
1.      Pasal 50 UU No. 7 tahun 1989
Dimana dalam pasal ini erkenaan dengan sengketa hak milik atau keperdataan lain dalam perkara-perkara sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 49.
2.      Penjelasan Umum UU No. 7 tahun 1989, angka 2
Kewarisan adalah : mengenai penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan pelaksana pembagian harta peninggalan tersebut, bilamana pewarisan terseut dilakukan berdasarkan hukum islam.
3.      Pasal 86 ayat (2) UU No. 7 tahun 1989:
Dimana berunyi :
Jika ada tuntutan pihak ketiga, maka pengadilan menunda terlebih dahulu perkara harta bersama sampai ada putusan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum yang telah memperoleh kekuatan hukum yang tetap tentang hal itu.


DAFTAR PUSTAKA

A.    Alquran Al-Karim
B.     Hadis
·         As-san’any, Muhammad bin Isma’il Al Kahlany, Suul as-salam, Dahlan, Bandung, tt.
C.    Fiqh
·         At-Tarablisy, ‘alau ad-Di, 1973, Mu’in al Hukkam, Mustafa al Baby al-halay, Mesir.
D.    Peraturan perundang-undangan
·         UU No. 7 Tahun 1989
·         UUD 1945
E.     Dari mahkamah Agung
·         SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung) Nomor 9 tahun 1964, tentang Putusan Verstek.
F.     Umum
·         Mahadi, S.H., Prof., Peranan Peradilan Agama di Indonesia, Prasaran pada simposium Sejarah Peradilan Agama, 8-10 April 1982 di Bogor.