MAKALAH
HUKUM
ACARA PERADILAN AGAMA
“Masalah
Harta Bersama dalam Proses Perceraian”
Disusun
oleh :
Nama :
Vany Lucas
Nim : 1008015141
Kelas :
B
Fakultas Hukum
Universitas Mulawarman
Tahun Ajaran
2012
Kata
Pengantar
Rasa
syukur yang dalam saya sampaikan ke hadiran Tuhan Yang Maha Esa , karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat
saya selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini saya membahas “Masalah
Harta Bersama dalam Proses Perceraian”. Makalah ini dibuat dalam rangka
memperdalam pemahaman masalah Masalah
Harta Bersama dalam Proses Perceraian dengan baik.
Dalam proses pendalaman materi ini, tentunya saya mendapatkan bimbingan dan
arahan, serta saran, untuk itu rasa terima kasih yang dalam-dalamnya saya sampaikan :
- Ibu Dosen mata kuliah Hukum Acara Peradilan Agama
- Dan Orang Tua
- Yang Terkasih
Demikian
makalah ini saya buat semoga bermanfaat,
Samarinda, 17 Desember 2012
Vany Lucas
DAFTAR
ISI
A. BAB
I
Latar
Belakang…………………………………………………………… 1
RumusanMasalah……………………………………………………….. 2
B. BAB
II
Pembahasan………………………………………………………..……. 4
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………… 12
HARTA
BERSAMA DALAM PERKAWINAN : (ANALISIS PUTUSAN TERHADAP PENYELESAIAN HARTA
BERSAMA AKIBAT PERCERAIAN)
A. Latar
Belakang Masalah
Konteks hubungan antara laki-laki dan
perempuan dalam tatanan normatifnya adalah sama dengan menerapkan konsep
keadilan dan tidak adanya diskriminasi. Hal ini menuntut adanya keseimbangan
dalam pembagian hak dan kewajiban. Konsep ini dalam politik hukum Indonesia
terwujud dalam adanya pengakuan terhadap kesetaraan gender. Salah satu bentuk
diskriminasi yang masih terjadi adalah dalam masalah penyelesaian harta
bersama. Contoh yang kasuistik adalah kasus yang menimpa seorang presenter Made
Hughesia Dewi dengan Alfin, mantan suaminya. Gugatan komulasi perceraian dengan
harta yang diajukannya di Pengadilan Agama Jakarta Selatan dikabulkan oleh
hakim dengan pembagian harta bersama adalah separuh-separuh, berdasarkan
ketentuan dalam pasal 97 KHI. Padahal sebagian besar harta tersebut dihasilkan
dari aktivitas Hughes di dunia entertainment. Istilah harta bersama yang
dibakukan dalam UU No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan pada dasarnya sudah ada
sejak lama dalam kehidupan dan adat yang berlaku dalam masyarakat. Pelembagaan
harta bersama ini dalam ketentuan hukum positif di Indonesia dijelaskan dalam UU
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan KHI. Konsep harta bersama dalam
ketentuan tersebut pun bersifat kontradiksi. Dalam UU No. 1 Tahun 1974,
dinyatakan bahwa tidak ada perjanjian antara suami istri terhadap harta, maka
harta yang didapat selama masa perkawinan adalah harta bersama. Sebaliknya,
dalam KHI dinyatakan bahwa tidak ada harta bersama antara suami istri yang
tidak pernah melakukan perjanjian sebelumnya.
Adanya kontradiksi dalam persoalan harta bersama antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan KHI kemudian diformulasikan dalam suatu pertanyaan yang menjadi major research question dalam penelitian ini, yaitu; “Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?”.
Adanya kontradiksi dalam persoalan harta bersama antara UU No. 1 Tahun 1974 dengan KHI kemudian diformulasikan dalam suatu pertanyaan yang menjadi major research question dalam penelitian ini, yaitu; “Bagaimanakah penyelesaian harta bersama akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia?”.
Dalam beberapa literatur ditemukan
beberapa pendapat, di antaranya pendapat Hazairin dalam bukunya yang berjudul
“Tinjauan mengenai undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974”, yang
menegaskan bahwa tidak ada ketentuan yang spesifik dalam kitab-kitab suci agama
(Islam, Kristen, Hindu dan Budha). Sementara itu, Bustanul Arifin menyatakan
bahwa tidak ditemukan bahasan mengenai harta bersama dalam kitab-kitab fiqih
klasik. Di lain sisi, Ismuha dan Sayuti Thalib menyatakan bahwa masalah harta
bersama dapat dikategorikan sebagai syirkah dalam rumah tangga secara resmi dan
cara-cara tertentu .
B. Rumusan dan
Batasan Masalah
- Rumusan Masalah
Major research question
:
Bagaimanakah penyelesaian harta bersama
akibat perceraian menurut putusan pengadilan ditinjau dari sudut hukum Islam
dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?
Minor research question :
Minor research question :
- Bagaimanakah hukum Islam merespon persoalan harta bersama, apakah ada dalil yang lebih terperinci untuk menerangkannya ?
- Bagaimanakah kaitan antara hak dan kewajiban suami istri dalam hubungannya dengan harta bersama ?
- Bagaimanakan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI ?
- Apa akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Tujuan Penulisan
- Mendeskripsikan pandangan hukum Islam terhadap harta bersama akibat perceraian baik dari al-Qur’an, sunnah, ijma’, ataupun qiyas.
- Mendeskripsikan kaitan antara hak dan kewajiban dalam hubungannya dengan harta bersama dalam perkawinan.
- Memaparkan defenisi dan konsep harta bersama dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 dan KHI.
- Menjelaskan akibat hukum terhadap harta bersama akibat perceraian dari sudut hukum Islam dan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Manfaat Penulisan.
Sebagai tambahan informasi bagi
pemerhati hukum Islam khususnya yang berkaitan dengan harta bersama dalam
perkawinan. Memperkaya khazanah ilmu pengetahuan.
D. Kerangka Teori
D. Kerangka Teori
Berdasarkan pendapat para ahli dalam
beberapa literatur, penulis menyimpulkan bahwa harta bersama adalah harta benda
yang diperoleh oleh suami istri selama ikatan perkawinan berlangsung, baik yang
didapatkan secara sendiri-sendiri ataupun secara bersama tanpa mempersoalkan
terdaftar atas nama siapa. Pengajuan harta bersama ini biasanya dikomulasikan
dengan gugatan perceraian di pengadilan yang berwenang, dalam hal ini adalah
Pengadilan Agama. Penjelasan mengenai harta dalam perkawinan, disebutkan dalam
ketentuan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 berikut ; Pasal 35
(1) Harta yang diperoleh
selama perkawinan, menjadi harta bersama;
(2) Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan istilah harta pribadi, sepenuhnya berada dalam penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah telaah terhadap hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan yang kemudian dikaitkan dengan pembagian harta bersama; dan konsep harta bersama dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
(2) Harta bawaan masing-masing suami istri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan yang disebut dengan istilah harta pribadi, sepenuhnya berada dalam penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Fokus pembahasan dalam tesis ini adalah telaah terhadap hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan yang kemudian dikaitkan dengan pembagian harta bersama; dan konsep harta bersama dalam hukum Islam dan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI TERHADAP
HARTA DALAM PERKAWINAN
Hak-hak perkawinan (marital right) merupakan salah satu indikator penentu status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan antara kedua belah pihak. Namun jika seandainya terjadi ketidak-adilan dalam suatu rumah tangga, tidak jarang perempuan yang akan dirugikan. Hal ini menuntut adanya suatu jalan keluar untuk menyelamatkan hak-hak perempuan dalam perkembangan selanjutnya.
A. Pengertian Hak dan Kewajiban
Hak-hak perkawinan (marital right) merupakan salah satu indikator penentu status perempuan dalam masyarakat. Persamaan hak dan kewajiban suami istri dalam perkawinan menunjukkan kesetaraan antara kedua belah pihak. Namun jika seandainya terjadi ketidak-adilan dalam suatu rumah tangga, tidak jarang perempuan yang akan dirugikan. Hal ini menuntut adanya suatu jalan keluar untuk menyelamatkan hak-hak perempuan dalam perkembangan selanjutnya.
A. Pengertian Hak dan Kewajiban
- Pengertian Hak
Secara etimologi, kata “hak” berasal dari
akar kata bahasa arab, yaitu “haqq” yang artinya; kebenaran, lawan dari
kata kezhaliman dan bahagian atau peruntukkan tertentu. Secara terminologi, hak
didefenisikan berbeda-beda oleh para ahli. Ada yang mendefenisikan dari segi
materi, dan tidak sedikit pula yang memandangnya dari segi non materi. Dari
beberapa defenisi yang dikemukakan oleh para ahli, penulis menyimpulkan bahwa
hak adalah kekuasan khusus yang dimiliki oleh seseorang yang ia peroleh
berdasarkan ketentuan syara’ untuk mencapai kemashlahatan.
Hukum yang terkait dengan hak manusia ini di antaranya adalah pemiliknya dierbolehkan untuk melepaskan atau menggugurkan haknya dengan cara pemaafan, perdamaian dan melepaskan pertanggunan atas seseorang atau membolehkannya kepada sipapun. Para ulama sepakat menyatakan bahwa sumber adanya hak adalah syara’. Namun adakalanya syara’ itu menetapkan hak secara langsung tanpa ada sebab apapun, seperti perintah untuk beribadah dan adakalanya dikarenaka ada suatu penyebab, seperti karena adanya perkawinan.
Hukum yang terkait dengan hak manusia ini di antaranya adalah pemiliknya dierbolehkan untuk melepaskan atau menggugurkan haknya dengan cara pemaafan, perdamaian dan melepaskan pertanggunan atas seseorang atau membolehkannya kepada sipapun. Para ulama sepakat menyatakan bahwa sumber adanya hak adalah syara’. Namun adakalanya syara’ itu menetapkan hak secara langsung tanpa ada sebab apapun, seperti perintah untuk beribadah dan adakalanya dikarenaka ada suatu penyebab, seperti karena adanya perkawinan.
- Pengertian Kewajiban
Kewajiban
adalah perintah yang dituntut oleh pembuat hukum (dalam hal ini adalah Allah
SWT) berupa keharusan untuk melakukan sesuatu atau berupa sanksi dosa bagi yang
meninggalkannya. Penjelasan mengenai hak dan kewajiban bagi pasangan suami
istri dalam perkawinan secara terperinci telah dijelaskan dalam ketentuan
Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam
(KHI).
B.
Macam-macam Hak dan Kewajiban Suami Istri
- Hak Istri Terhadap Suami
- Hak Materi
1)
Mahar :
Mahar
merupakan bagian terpenting dalam awal pembentukan rumah tangga dan merupakan
pemberian yang wajib diberikan oleh suami kepada istri disebabkan adanya
pernikahan. Akad nikah merupakan salah satu penyebab timbulnya hak dan
kewajiban di antara kedua belah pihak. Salah satu hak yang harus diperoleh
istri dari suami berupa mahar. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Nisa
[4] ayat 4. Pemberian mahar kepada istri hukumnya adalah wajib. Dan apabila
setelah pernikahan istri secara suka rela dan tanpa tipu muslihat membagi
maharnya kepada suaminya, maka hukumnya boleh. Namun suami tidak boleh memaksa
atau meminta kembali mahar yang telah diberikan.
2)
Nafkah.
Pengaturan
masalah nafkah ini dijelaskan dalam al-Qur’an surat al-Thalaq [65] ayat 7. Ayat
ini menjelaskan tentang kewajiban seorang suami untuk memberikan nafkah kepada
istrinya, meskipun berapa besarnya tidak ditentukan secara terperinci karena
hal ini digantungkan kepada kemampuan.
- Hak Non Materi
1)
Mendapat Perlakuan yang Baik dari Suami
Perkawinan merupakan titik awal pembentukan masyarakat yang kokoh. Oleh sebab
itu islam menganjurkan agar suami menunjukkan sikap yang baik dan lemah lembut
kepada istrinya. Keduanya diharapakan untuk bisa saling pengertian, saling
menghargai dan saling menghormati guna mewujudkan rumah tangga yang sakinah
mawaddah dan rahmah. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalam al-Qur’an surat
al-Nisa [4] ayat 19. Penulis mengkritik makna hadits yang menyatakan; “Mereka
(para istri) adalah orang yang lemah dari segi fisiknya dan membutuhkan orang
lain untuk melindunginya”. Karena stereotype wanita seperti itu
merugikan, sementara dalam konteks kontemporer tidak sedikit wanita yang
menggantikan profesi laki-laki.
2)
Mendapat Perlindungan yang Layak dan
Wajar Syari’at Islam mewajibkan suami untuk mencukupi kebutuhan istrinya,
seperti; menjamin nafkah, sandang dan tempat tinggal yang bersifat materi.
Tidak hanya sampai di situ, syari’at Islam juga tidak meremehkan
kebutuhan-kebutuhan yang bersifat kejiwaan (spiritual). Dasar utama kehidupan
suami istri adalah adanya ketentraman yang berlandaskan rasa kasih sayang.
- Hak Suami Terhadap Istri
Suami mempunyai hak yang ditimbulkan
dari kewajiban istri, di antaranya adalah suami berhak dita’ati dalam hal
kebaikan dan tdiak untuk perbuatan maksiat. Hal ini dijelaskan dalam al-Qur’an
surat al-Nisa [4] ayat 34. Laki-laki yang menjadi pemimpin dan ‘pelindung’
adalah laki-laki yang mempuyai keutamaan. Berdasarkan sebab turunnya ayat ini,
keutamaan laki-laki dihubungkan dengan kedudukan dan tanggung jawabnya dalam
rumah tangga.
Terlepas dari perdebatan akademik tentang kedudukan perempuan dalam struktur sosial, penulis berpendapat bahwa, kepemimpinan laki-laki yang dimaksudkan berada dalam konteks rumah tangga yang mengharuskan akan adanya suatu pihak yang mempimpin.
Terlepas dari perdebatan akademik tentang kedudukan perempuan dalam struktur sosial, penulis berpendapat bahwa, kepemimpinan laki-laki yang dimaksudkan berada dalam konteks rumah tangga yang mengharuskan akan adanya suatu pihak yang mempimpin.
- Hak Timbal Balik antara Suami Istri
Berdasarkan beberapa literatur, penulis
menyimpulkan bahwa hak timbal balik antara suami istri adalah melakukan
hubungan badan. Hal ini terlihat dari beberapa pernyataan dan argument yang
dikemukakan dalam fiqih yang kemudian diperkuat dengan beberapa dalil. Hal ini
juga dijelaskan dalam pasal 34 ayat (3) Undang-undang Perkawinan dan dalam
pasal 77 ayat (5) KHI yang menyatakan bahwa salah satu pihak boleh mengadu ke
Pengadilan apabila ada salah satu pihak yang melalaikan kewajibannya.
C. Kewajiban
Suami Istri Menurut Kompilasi Hukum Islam
- Kewajiban Suami Terhadap Istri
Kewajiban suami terhadap istrinya
adalah; membimbing sitri dalam urusan rumah tangga, melindungi istri dan
mencukupi kebutuhannya, memberikan pendidikan agama yang bermanfaat, memberikan
nafkah dan tempat tinggal serta biaya untuk anak.namun, kewajiban suami untuk
memberikan nafkah dan tempat tinggal kepada istrinya akan gugur apabila
istrinya nusyuz.
- Kewajiban Istri Terhadap Suami
Kewajiban istri terhadap suami adalah
berbakti lahir dan batin kepada suami selama berada dalam batas-batas yang
dibenarkan dalam ajaran Islam. Istri menyelenggarakan dan mengatur keperluan
rumah tangga dan kebutuhan sehari-hari sebaik-baiknya.
D. Hak Suami Istri
Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Mengenai hak suami istri dalam Undang-undang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1), (2) dan (3). Demikian juga dalam KHI pada pasal 79 ayat (1), (2) dan (3). Penulis menyimpulkan bahwa kandungan ayat tersebut inkonsisten dan saling bertentangan. Dalam dua ayat terakhir dinyatakan bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang, sementara dalam ayat 1 dinyatakan bahwa suami dipatok sebagai kepala keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut mengindikasikan pembekuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin, sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Sebagai salah satu contoh adalah seorang istri yang ditugaskan untuk mengelola dan mengatur rumah tangga, berimplikasi pada masalah ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ketenagakerjaan, seorang perempuan yang mencari nafkah hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan bukan nafkah utama.
KONSEP HARTA DALAM PERPSPEKTIF HUKUM INDONESIA
Mengenai hak suami istri dalam Undang-undang Perkawinan, dijelaskan dalam pasal 31 ayat (1), (2) dan (3). Demikian juga dalam KHI pada pasal 79 ayat (1), (2) dan (3). Penulis menyimpulkan bahwa kandungan ayat tersebut inkonsisten dan saling bertentangan. Dalam dua ayat terakhir dinyatakan bahwa kedudukan suami istri adalah seimbang, sementara dalam ayat 1 dinyatakan bahwa suami dipatok sebagai kepala keluarga. Penulis menyimpulkan bahwa pasal-pasal tersebut mengindikasikan pembekuan peran perempuan berdasarkan jenis kelamin, sekaligus mengukuhkan domestikasi perempuan. Sebagai salah satu contoh adalah seorang istri yang ditugaskan untuk mengelola dan mengatur rumah tangga, berimplikasi pada masalah ketenagakerjaan. Dalam undang-undang ketenagakerjaan, seorang perempuan yang mencari nafkah hanya dianggap sebagai pencari nafkah tambahan bukan nafkah utama.
KONSEP HARTA DALAM PERPSPEKTIF HUKUM INDONESIA
A. Harta Bersama
Menurut Hukum Islam
Ajaran Islam tidak menjelaskan secara
transparan perihal pembagian harta bersama akibat perceraian. Artinya, Islam
tidak mempunyai konsep pembagian harta bersama yang langsung merujuk kepada
al-Qur’an dan Sunnah. Namun dapat dipahami dari makna al-Qur’an surat al-Nisa
[4] ayat 29. Dari ayat ini ditemukan 3 prinsip dasar dalam pembagian harta
bersama.
- Prinsip Kerjasama
Prinsip kerjasama yang terkait dengan
masalah harta adalah hal yang dasar di tengah-tengah masyarakat. Tidak dapat
dibayangkan jikalau seandainya di dalam masyarakat tidak ada kerjasama dan
transaksi. Selaku makhluk sosial dan makhluk budaya, manusia mempunyai banyak
kekurangan dan membutuhkan orang lain untuk memenuhinya. Hal inilah yang
mendorong adanya sikap tolong menolong dan kerjasama guna menutupi kekurangan
tersebut.
- Prinsip Dasar Kepemilikan
Pada dasarnya semua yang ada di bumi ini
dipruntukkan bagi umat manusia. Materi yang ada boleh dimiliki secara
individual ataupun komunal. Setiap individu yang hidup di dunia ini tidak akan
mampu hidup sendiri karenanya ia akan membutuhkan kepemilikan dari orang lain,
suatu kepemilikan tidak akan berfungsi jika tidak dipergunakan untuk orang
lain. Untuk pelaksanaanya, diperlukan suatu ketentuan yang baku, agar tidak
terjadi kerusakan dan kekacauan.
- Pendekatan dan Metode
- Pendekatan Ijma’ (konsensus)
Di Indonesia, sebagian para ahli hukum
Islam berpendapat bahwa Undang-undang Perkawinan dan KHI dipandang sebagai
fiqih Indonesia. Semua urusan yang berkaitan dengan keperdataan bagi warga
Negara Indonesia yang beragama Islam diatur dalam kedua peraturan
perundang-undangan tersebut. Kesimpulannya, ketentuan peraturan
perundang-undangan tersebut merupakan ijma’ (konsensus/kesepakatan) para ulama
di Indonesia.
- Pendekatan Qiyas (analogi)
Secara umum, metode yang dipergunakan
dalam mengkaji harta bersama adalah dengan menggunakan metode analogi (qiyas).
Sebahagian ulama menganalogikan harta bersama dengan konteks syirkah
(perkongsian) dengan didasarkan kepada beberapa hadits.
- Pendekatan Mashlahah Mursalah
Tidak ada nash dalam al-Qur’an atau
sunnah yang melarang akan adanya pembagian harta bersama dalam Islam. Namu di
sisi lain, keterbatasan suami dan kerelaan istri untuk berbagi dalam memenuhi
kebutuhan rumah tangga merupakan faktor pendorong terbentuknya harta bersama.
- Pendekatan Istihsan
Istihsan merupakan suatu tindakan
meninggalkan ketentuan yang telah ditetapkan oleh syara’ karena suatu
peristiwa, menuju hukum lain dalam peristiwa yang sama dikarenakan ada dalil
syara’ yang mengharuskan seorang mujtahid untuk meninggalkannya. Terlepas dari
pro dan kontra penggunaan istihsan, metode ini dapat diterapkan dalam mengkaji
harta bersama.
- Pendekatan al-‘Urf (adat kebiasaan)
‘Urf merupakan suatu kebiasaan yang
dapat diterima oleh watak manusia dan bias dipertimbangan oleh akal sehat.
Suatu ‘urf baru bisa diterima apabila telah memenuhi persyaratan tertentu dan
tidak berlawanan dengan ketentuan yang sudah ada. Demikian juga halnya dengan
harta bersama yang sudah memenuhi persyaratan bisa diterima sebagai hukum.
B. Harta Bersama Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Meskipun dijelaskan dalam istilah yang berbeda, namun ketentuan mengenai “harta bersama” dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35, 36, 37 dan pasal 65 ayat (2) dan (3).
B. Harta Bersama Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Meskipun dijelaskan dalam istilah yang berbeda, namun ketentuan mengenai “harta bersama” dalam perkawinan dijelaskan dalam pasal 35, 36, 37 dan pasal 65 ayat (2) dan (3).
- Pembentukan Harta Bersama
Pada dasarnya, ketentuan mengenai harta
bersama telah dijelaskan secara tersirat dalam hukum Islam dan hukum adat yang
tidak tertulis. Agar bisa diterapkan dan bersifat mengikat serta memaksa, maka
adanya Undang-undang Perkawinan merupakan salah satu usaha untuk melembagakan
harta bersama tersebut. Bertitik tolak dari kodifikasi tersebut, maka dapat
disimpulkan bahwa harta yang diperoleh secara individu atau bersama setelah
terjadinya perkawinan, dianggap sebagai harta bersama. Sebaliknya apabila suai
istri ini ingin mengadakan perjanjian tidak seeprti yang dijelaskan dalam pasal
35 ayat (2), harus diketahui oleh pihak ketiga, atau di hadapan pihak yang
berwenang. Dalam proses selanjutnya, disimpulkan bahwa semua harta yang
diperoleh sejak menikah menjadi harta bersama, kecuali warisan dan hibah yang
bersifat pribadi bagi penerimanya. Hukum Islam tidak melarang adanya
percampuran antara harta pribadi dengan harta bersama, hanya saja dituntut rasa
saling pengertian antara suami istri. Oleh sebab itu maka perjanjian dalam
perkawinan diperbolehkan.
- Unsur-unsur dalam Harta Bersama
Undang-undang Perkawinan, hukum adat dan
hukum Islam secara jelas menggambarkan bahwa harta bersama merupakan harta yang
diperoleh sejak akad perkawinan berlangsung. Permasalahan yang mungkin bias
timbul belakangan adalah jikalau seandainya suami istri melakukan perjanjian
untuk memasukkan warisan dan hibah sebagai harta bersama. Demikian juga halnya
dengan hasil usaha sampingan yang sudah dirintis oleh kedua belah pihak sejak
sebelum menikah, apakah ini juga bisa dikategorikan sebagai harta bersama atau
tidak.
C. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam
C. Harta Bersama Menurut Kompilasi Hukum Islam
Konsep harta bersama dalam KHI
dijelaskan secara rinci dalam Bab XIII mulai dari pasal 85 sampai pasal 97.
Dari KHI dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya keberadaan harta bersama tidak
menutup kemungkinan adanya harta masing-masing. Bahkan lebih ditegas dinyatakan
bahwa pada dasarnya tidak ada percampuran harta yang diakibatkan karena adanya
perkawinan dan ketentuan mengenai harta bersama ditentukan berdasarkan
perjanjian. Apabila terjadi perselisihan, maka diselesaikan di pengadilan. Inovasi
pembagian harta warisan yang ditawarkan oleh KHI dapat diterima dengan baik
oleh masyarakat, karena solusi yang ditawarkan tidak berlawanan dengan adat
kebiasaan yang berlaku di tengah masyarakat. Dalam perkembangan selanjutnya,
harta bersama didefenisikan lebih luas. Suami yang melakukan usaha di luar
rumah untuk mencari nafkah dan istri yang berada di rumah juga dikagorikan
bekerja, sehingga di antara keduanya terdapat kesamaan dan kesetaraan.
D. Perceraian dan
Akibat Hukumnya Terhadap Harta Bersama
Kemungkinan Tidak Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Hukum Islam meberikan hak kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai hak atas harta yang dimilikinya masing-masing, tanpa bisa digugat oleh pihak lain. Hukum Islam juga tidak mengatur mengenai pelembagaan harta bersama setelah adanya perkawinan. Sehingga harta yang dimliki suami istri itu terpisah satu sama lain. Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 32 dan al-Baqarah [2] ayat 233. Kemungkinan Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini asalah al-Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 21 yang kemudian dipertegas dengan al-Qur’an surat al-Maidah [5] ayat 8 yang menjelaskan perihal pmbagian harta bersama secara adil dan seiembang.
Kemungkinan Tidak Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Hukum Islam meberikan hak kepada masing-masing suami istri untuk mempunyai hak atas harta yang dimilikinya masing-masing, tanpa bisa digugat oleh pihak lain. Hukum Islam juga tidak mengatur mengenai pelembagaan harta bersama setelah adanya perkawinan. Sehingga harta yang dimliki suami istri itu terpisah satu sama lain. Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini adalah al-Qur’an surat al-Nisa [4] ayat 32 dan al-Baqarah [2] ayat 233. Kemungkinan Adanya Harta Bersama Dalam Perkawinan Dalil yang dipergunakan oleh kelompok ini asalah al-Qur’an surat an-Nisa [4] ayat 21 yang kemudian dipertegas dengan al-Qur’an surat al-Maidah [5] ayat 8 yang menjelaskan perihal pmbagian harta bersama secara adil dan seiembang.
- Waktu Pembagian Harta Bersama
Apabila suatu ikatan perkawinan putus,
maka harta bersama selaku institusi yang memenuhi kewajiban bersama juga ikut
bubar dan karenanya maka pembagian harta bersama hendaknya dilakukan
secepatnya, karena di dalamnya terhadap hak orang lain.
Pembagian Harta Bersama Akibat
Perceraian Ajaran Islam menganjurkan untuk melakukan pembagian harta bersama
secara adil. Penulis menyatakan bahwa meskipun ajaran tidak menjelaskan secara
rinci perihal pembagian harta bersama, namun dari beberapa indikasi yang ada
dalam ajaran Islam menunjukkan bahwa perkawinan merupakan suatu ikatan lahir
bathin yang dibangun secara kuat. Meskipun perceraian merupakan perbuatan halal
namun dibenci oleh Allah SWT, untuk menggapai tujuannya dibutuhkan harta
bersama.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
- Proses pembagian harta bersama harus dilakukan dengan itikad baik dan tanpa adanya diskriminasi. Pengelolaan harta bersama adalah berdasarkan porsi yang dihasilkan oleh masing-masing pihak dalam rumah tangga. Pemanfaatan harta bersama adalah perwujudan semangat kerjsasama dan nilai gotong royong yang berkembang pada masyarakat Indonesia.
- Ada tiga lingkup dalam harta bersama yang harus dibedakan, namun terkadang juga harus disamakan, meliputi penguasaan, pemilikan dan pengelolaannya. Harta bersama yang terbentuk dalam masyarakat adalah berdasarkan perjanjian yang terbentuk secara diam-diam dalam rumah tangga dan menjadi adat yang berlaku dalam masyarakat.
- Putusan Pengadilan Agama sebagian besar telah membahas pembagian harta bersama, sementara perkawinan belum putus, namun putusan ini merupakan bentuk perencanaan pembagian harta bersama dalam keluarga. Dalam hal ini, hakim dalam memutus perkara mengacu kepada petitum yang diajukan dan disandarkan kepada ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pengelolaan harta bersama dalam keluarga pada didasarkan kepada kerjasama dan semangat gotong royong tanpa harus membedakan harta.
B. Saran
- Perlu diadakan edukasi dan sosialisasi perihal harta bersama di tengah masyarakat. Demikian juga dengan pengajuan permohonan pemutusan perkawinan, sehingga hak-hak para pihak yang terlibat di dalamnya terjamin. Luasnya makna harta bersama menuntut adanya singkronisasi antar ketentuan perundang-undangan.
- Pengundang-undangan aturan pengurusan masalah surat-surat tanah antara suami istri oleh Badan Pertanahan Nasional.
- Dibutuhkan adanya pengaturan teknis yang lebih rinci dalam pelaksanaan pembagian harta bersama akibat perceraian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar