Senin, 11 Februari 2013

Judicial Review


PENDAHULUAN
Membahas mengenai konsep Judicial Review di Indonesia bukanlah perkara yang mudah, mengingat konsep ini baru mulai berkembang dalam praktiknya setelah terjadinya amandemen UUD 1945. Mulai dari penggunaan istilahnya pun sudah mengundang berbagai perdebatan. Istilah judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, toetsingrecht, seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya.
Judicial review pada prinsipnya merupakan upaya pengujian oleh lembaga yudisial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan eksekutif, legislatif maupun yudikatif. Pemberian kewenangan kepada hakim sebagai penerapan prinsip check and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara dan cita-cita negara hukum-rechstaat maupun rule of law. Jika pengujian tidak dilakukan oleh hakim tetapi lembaga parlemen maka disebut dengan istilah legislative review.
Pengujian oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif dan eksekutif merupakan konsekuensi dianutnya prinsip check and balances dalam sistem pemisahan kekuasaan (separation of power). Sedangkan dalam sistem pembagian kekuasaan (distribution or division of power) yang tidak mengidealkancheck and balances dimana kewenangan untuk melakukan pengujian semacam itu berada di tangan lembaga yang membuat aturan itu sendiri.
Dalam makalah ini akan dijelaskan apa sebenarnya judicial review itu, arti penting judicial review, serta tata cara pelaksanaannya. Sumber bahan makalah ini diambil dari berbagai buku karangan para pakar hukum tata negara yang tidak diragukan lagi kemampuannya serta dari artikel-artikel hasil seminar dan internet. Demikian semoga dapat menjadi sumbangsih bagi keilmuan dalam civitas akademik.
PEMBAHASAN
A. Pengertian Judicial Review
    Terdapat perbedaan dalam pendefinisian judicial review, diantaranya:
    Menurut Encyclopedia Britannica:
      “Judicial review is the power of courts of a country to determine if acts of legislature and executive are constitutional.”
      Sedangkan menurut Ecyclopedia Americana:
        “Judicial review, power exerted by the courts of a country to examine the actions of the legislative, executive, and administrative arms of the government and to ensure that such actions conform to the provisions of constitution.”
        Menurut Miriam Budiardjo:
          Mahkamah Agung … mempunyai wewenang untuk menguji apakah sesuatu undang–undang sesuai dengan Undang-Undang Dasar atau tidak, dan untuk menolak melaksanakan undangundang serta peraturan peraturan lainnya yang dianggap bertentangan dengan Undang- Undang Dasar. Ini dinamakan “Judicial Review”.
          Sri Sumantri berpendapat:
            Hak menguji materiil adalah suatu wewenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu (verordenende acht) berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu. Jadi hak menguji materiil ini berkenaan dengan isi dari suatu peraturan dalam hubungannya dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.
            Sedangkan Bintan R. Saragih menyebutkan:
              Judicial Review … adalah hak dari Mahkamah Agung untuk menilai atau menguji secara material apakah suatu undang-undang bertentangan dengan atau tidak berlaku undang-undang yang dinyatakan bertentangan atau tidak sesuai tersebut.
              Menurut Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1999 tentang hak Uji materiil:
                Hak uji materiil adalah hak Mahkamah Agung untuk menguji secara materiil terhadap peraturan perundangundangan, sehubungan dengan adanya gugatan atau permohonan keberatan (pasal 1 ayat (1)).
                Meskipun belum ada definisi yang baku mengenai judicial review di Indonesia, tetapi pada umumnya judicial review diberi pengertian sebagai “hak uji materiil”, yaitu “wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.”
                B. Urgensi Judicial Review
                  Para ahli hukum pada umumnya sepakat bahwa urgensi judicial review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk perundang-undangan  dan peraturan-peraturan dasarnya, untuk itu diperlukan judicial activision.
                  Menurut Moh. Mahfud MD, minimal ada tiga alasan yang mendasari pernyataan pentingnya judicial activision:
                  Pertama, hukum sebagai produk politik senantiasa memiliki watak yang sangat ditentukan oleh konstelasi politik yang melahirkannya. Hal ini memungkinkan bahwa setiap produk hukum akan mencerminkan visi dan kekuatan politik pemegang kekuasaan yang dominan sehingga tidak sesuai dengan hukum-hukum dasarnya atau bertentangan dengan peraturan yang secara hirarkis lebih tinggi.
                  Kedua, karena kemungkinan sering terjadi ketidaksesuaian antara suatu produk peraturan perundangan dengan peraturan-peraturan hukum yang lebih tinggi, maka muncul berbagai alternatif untuk mengantisipasi dan mengatasi hal tersebut melalui pembentukan dan pelembagaan Mahkamah konstitusi, Mahkamah perudang-undangan, Judicial Review, uji material oleh MPR dan lain sebagainya.
                  Ketiga, dari berabagai alternatif yang pernah ditawarkan, pelembagaan judicial review adalah lebih konkret bahkan telah dikristalkan di dalam berbagai peraturan perundang-undangan kendati cakupannya masih terbatas sehingga sering disebut sebagai judicial review terbatas. Namun, tidak sedikit orang yang mengira bahwa dari penerimaan terbatas terhadap judicial review akan benar-benar dapat dilaksanakan dan telah mendapat akomodasi pengaturan yang cukup. Padahal ketentuan tentang judicial review yang ada di berbagai peraturan perundang-undangan itu memuat kekacauan teoritis yang sangat mendasar sehingga tidak dapat dioperasionalkan. Oleh karena itu diperlukan perombakan total terhadap peraturan mengenai judicial review, termasuk Perma No.1 Tahun 1993.
                  C. Mekanisme Beracara dalam Judicial Review
                  1. Prinsip-prinsip hukum acara.
                    Proses judicial review dalam perumusan hukum acaranya terikat oleh asas-asas publik. Di dalam hukum acara dikenal dua jenis proses beracara yaitu “contentious procesrecht” atau hukum acara sengketa dan “non contentieus procesrecht” atau hukum acara non-sengketa. Untuk judicial review, selain digunakan hukum sengketa (berbentuk gugatan) juga digunakan hukum acara non sengketa yang bersifat volunteer (atau tidak ada dua pihak bersengketa/berbentuk permohonan).
                    Bila menelaah asas-asas hukum publik yang salah satunya tercermin pada asas hukum acara peradilan administrasi, maka proses beracara judicial reviewseharusnya juga terikat pada asas tersebut. Asas tersebut adalah:
                    a. Asas Praduga Rechtmatig
                      Putusan pada perkara judicial review seharusnya merupakan putusan akhir dan mempunyai kekuatan hukum tetap pada saat putusan dibacakan dan tidak berlaku surut. Pernyataan tidak berlaku surut mengandung makna bahwa sebelum putusan dibacakan, obyek yang menjadi perkara – misalnya peraturan yang akan diajukan judicial review - harus selalu dianggap sah atau tidak bertentangan sebelum putusan Hakim atau Hakim Konstitusi menyatakan sebaliknya.
                      Konsekuensinya, akibat putusan Hakim adalah “ex nunc” yaitu dianggap ada sampai saat pembatalannya. Artinya, akibat ketidaksahan suatu peraturan karena bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi tidaklah berlaku surut namun sejak pernyataan bertentangan oleh lembaga berwenang (MA atau MK) ke depan. Namun perlu juga dipikirkan tentang dampak yang sudah terjadi, terutama untuk kasus-kasus pidana, misalnya dimungkinkan untuk mengajukan kembali perkara yang bersangkutan tersebut untuk ditinjau kembali.
                      b. Putusan memiliki kekuatan mengikat (erga omnes)
                        Kewibawaan suatu putusan yang dikeluarkan institusi peradilan terletak pada kekuatan mengikatnya. Putusan suatu perkara judicial review haruslah merupakan putusan yang mengikat para pihak dan harus ditaati oleh siapapun. Dengan asas ini maka tercermin bahwa putusan memiliki kekuatan hukum mengikat dan karena sifat hukumnya publik maka berlaku pada siapa saja–tidak hanya para pihak yang berperkara.
                        2. Pengajuan permohonan atau gugatan.
                          Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan mapun permohonan. Sedangkan dalam PERMA No. 2 Tahun 2002 untuk berbagai kewenangan yang dimiliki oleh MK (dan dijalankan oleh MA hingga terbentuknya MK) tidak disebutkan pembedaan yang jelas untuk perkara apa harus dilakukan melalui gugatan dan perkara apa yang dapat dilakukan melalui permohonan, atau dapat dilakukan melalui dua cara tersebut. Akibatnya dalam prakteknya terjadi kebingungan mengingat tidak diatur pembedaan yang cukup signifikan dalam dua terminologi ini.
                          PERMA No. 1 tahun 1999 mengatur batas waktu 180 hari suatu putusan dapat diajukan judicial review. Sedangkan dalam PERMA No. 2 tahun 2002, jangka waktu untuk mengajukan judicial review hanyalah 90 hari. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pembatasan ini menimbulkan permasalahan mengingat produk hukum yang potensial bermasalah adalah produk hukum pada masa orde baru dan masa transisi. Selain itu pembatasan waktu ini juga menafikan kesadaran hukum masyarakat yang tidak tetap dan dinamis.
                          3. Alasan mengajukan judicial review.
                            Baik dalam Amandemen ke III UUD 1945 tentang wewenang MK dan MA atas hak uji materiil, yang kemudian dituangkan lebih lanjut sebelum keberadaan MK melalui PERMA No. 2 Tahun 2002, maupun dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tidak disebutkan alasan yang jelas untuk dapat mengajukan permohonan/gugatan judicial review. Dalam PERMA hanya disebutkan bahwa MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi. Sedangkan Amandemen hanya menyebutkan obyek judicial review saja dan siapa yang berwenang memutus.
                            Namun pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan judicial review adalah sebagai berikut :
                            • Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi.
                            • Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
                            • Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.
                            • Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.
                            • Terdapat ambiguitas atau keraguraguan dalam penerapan suatu dasar hukum yang perlu diklarifikasi
                            4. Pihak yang berhak mengajukan judicial review.
                            Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 tentang Hak Uji Materiil disebutkan bahwa Penggugat atau Pemohon adalah badan hukum, kelompok masyarakat. Namun tidak dijelaskan lebih lanjut badan hukum atau kelompok masyarakat yang dimaksud dalam PERMA ini seperti apa. Yang seharusnya dapat menjadi pihak (memiliki legal standing) dalam mengajukan permintaan pengujian UU adalah mereka yang memiliki kepentingan langsung dan mereka yang memiliki kepentingan yang tidak langsung. Rasionya karena sebenarnya UU mengikat semua orang.
                            Jadi sebenarnya semua orang “harus” dianggap berkepentingan atau punya potensi berkepentingan atau suatu UU. Namun bila semua orang punya hak yang sama, ada potensi penyalahgunaan hak yang akhirnya dapat merugikan hak orang lain. Namun karena pengajuan perkara dapat dilakukan oleh individu maka sangat mungkin dampaknya adalah pada menumpuknya jumlah perkara yang masuk.
                            Untuk itu di masa mendatang idealnya dalam pengajuan perkara hak uji materil maka perlu diperhatikan bahwa yang berhak mengajukan permohonan/gugat-an adalah kelompok masyarakat yang :
                            1. Berbentuk organisasi kemasyarakatan dan berbadan hukum tertentu.
                            2. Dalam Anggaran Dasarnya menyebutkan bahwa pencapaian tujuan mereka terhalang oleh perundangundangan.
                            3. Yang bersangkutan telah melaksanakan kegiatan sesuai dengan Anggaran Dasarnya.
                            4. Dalam hal pribadi juga dapat memiliki legal standing, maka ia harus membuktikan bahwa dirinya memiliki concern yang tinggi terhadap suatu bidang tertentu yang terhalang oleh perundang-undangan yang bersangkutan.
                            5. Putusan dan eksekusi putusan.
                            Dalam PERMA No. 1 Tahun 1999 disebutkan bahwa bila dalam 90 hari setelah putusan diberikan pada tergugat atau kepada Badan/Pejabat TUN, dan mereka tidak melaksanakan kewajibannya, maka peraturan perundang-undangan yang dimaksud batal demi hukum. Putusan dibacakan di sidang yang terbuka untuk umum, putusan yang sudah diambil mengikat.
                            Hal ini dapat diartikan bahwa jika dinyatakan suatu UU – baik seluruh pasalnya (berhubungan dengan keseluruhan jiwanya) atau pasal-pasal tertentunya saja bertentangan dengan UUD, maka putusan tersebut wajib dicabut oleh DPR dan Presiden dalam waktu tertentu. Jika tidak, maka UU tersebut otomatis batal demi hukum.
                            Kurang lebih ada dua alternatif yang dapat ditawarkan untuk perbaikan di kemudian hari, yaitu : Alternatif pertama, segala peraturan atau kelengkapan dari peraturan yang diputuskan tidak konstitusional kehilangan pengaruhnya sejak hari dimana putusan tersebut dibuat. Dengan catatan peraturan atau kelengkapan darinya sehubungan dengan hukum pidana kehilangan pengaruhnya secara retroaktif. Dalam hal demikian maka dimungkinkan dibuka kembali persidangan mengingat tuduhan didasarkan pada peraturan yang dianggap inkonstitusional; Alternatif kedua, dapat diberikan kewenangan bagi MA ataupun MK (nantinya) untuk memutus dampak atas masing-masing putusan apakah berdampak pada peraturan yang timbul sejak pencabutan dilakukan (ex nunc)atau berdampak retroaktif (ex tunc).
                            Dalam hal pencabutan putusan secara extunccomplaint individu terhadap suatu peraturan yang bersangkutan harus memiliki dampak umum (erga omnes), karena landasan hukum suatu putusan pengadilan atau penetapan administrative telah dinyatakan batal demi hukum atau dalam proses pembatalan. Dengan demikian peraturan yang berlaku individu yang didasarkan pada landasan hukum yang serupa juga menjadi tidak berlaku.
                            Di sini prinsip jaminan terhadap individu di satu sisi dan prinsip kepastian hukum di sisi lain harus berjalan seimbang. Setidaknya putusan dalam perkara kriminal harus dapat dibuka kembali oleh peradilan biasa dengan berdasarkan adanya pembatalan dari norma hukum pidana yang menjadi dasar dari putusan tersebut.

                            PENUTUP
                            Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan :
                            1. Judicial review adalah wewenang untuk menyelidiki, menilai, apakah suatu peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan tertentu.
                            2. Urgensi judicial review adalah sebagai alat kontrol terhadap konsistensi antara produk perundang-undangan  dan peraturan-peraturan dasarnya.
                            3. Proses beracara judicial review terikat pada asas praduga rechtmatig dan putusan memiliki kekuatan mengikat.
                            4. Pengajuan judicial review dapat dilakukan baik melalui gugatan maupun permohonan.
                            5. MA berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang atau dalam hal pengajuan keberatan adalah alasan dugaan peraturan tersebut bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi.
                            6. Pihak yang berhak mengajukan judicial review adalah badan hukum, kelompok masyarakat.

                            DAFTAR PUSTAKA
                            Fatimah, Siti. Praktik Judicial Review di Indonesia: Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Pilar Media. 2005.
                            Huda, Ni’matul. Negara Hukum, Demokrasi dan Judicial Review. Yogyakarta: UII Press. 2005.
                            Rositawati, Dian. dalam artikelnya yang berjudul “Mekanisme Judicial Review”. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat. 2005.
                            Sabardiah, Maissy. dalam artikelnya yang berjudul “Legal Standing Pemohon dalam Pengujian Undang-Undang (Judicial Review) Pada Mahkamah Konstitusi”. Fakultas Hukum UI.
                            Pan Mohamad Faiz. Jurnal Hukum Online. Desember 2008.

                            Tidak ada komentar:

                            Posting Komentar