Rabu, 06 Februari 2013

Hukum Lingkungan Internasional

  1. Perkembangan Hukum Lingkungan dalam Lintas Sejarah Hukum Internasional
Hukum lingkungan internasional berkembang terutama sejak tahun 1945 ( Perang Dunia II ) saat terjadi berbagai peristiwa penting. Pada tahun ini persepsi manusia terhadap lingkungan dan new order of hazard in human affairs berkembang  (environmental hazard).
Berbagai referensi tentang bahaya pada lingkungan (environmental hazard ) ini antara lain dalam Silent Spring, akibat kimia pertanian (overuse of misuse). Oil Spills yang kemudian menjadi public awareness tahun 1960-an, bahaya bagi terjadinya malapetaka, terutama pada perairan pantai dan sebagaimana, merupakan pokok pembahasan yang luas. Dalam kaitannya ini menarik pula untuk dibicarakan tentang perkembangan teknologi pengeboran lepas pantai, tanki minyak, dan sebagainya.
Pengendalian bahaya pada lingkungan oleh senjata berbahaya (dangerous weapons), mass-destruction  yang dianggap  potensial bagi ecocidal. Berbagai arm-control yang dilakukan sejak tahun 1945 merupakan kontribusi pada pelestarian lingkungan, yang terpenting adalah perjanjian nulklir pada tahun 1968, seperti Treaty on the Non proliferation of Nuclear Weapons (NPT) yang berlaku tahun 1970.
Pengaturan Industrial Discharge and Waste Disposal, terutama setelah Perang Dunia II dan menjelang Konferensi LHM di Stockholm pada tahun 1972. Kita kenal acid rain, Silent Spring oleh Rachel, dan lain sebagainya.
Malapetaka kandasnya kapal tanki minyak di laut, seperti Torrey Canyon  pada tahun 1967 yang mempengaruhi Konvensi tentang OIL POIL secara mendasar, kemudian Amoco Cadis pada tahun 1978, yang mempengaruhi ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS III.[1]
Klimaks pembentukan Hukum Lingkungan Internasional yang bersifat menyeluruh dan mendasar terjadi di Stockholm pada tahun 1972. Pengaruhnya pada pembentukan Hukum Lingkungan Nasional yang bersifat transnasional makin penting.
Perlindungan dan Pelestarian Lingkungan (Protection and Conservation of the Marine Environment) (1945-1972). Perkembangan ini meliputi:[2]
Lahirnya Environtmentalists merupakan produk system nilai masyarakat modern (DM. Johnson, 1981). Masalah lingkungan atau kesadaran lingkungan pada abad XX, secara psikologis banyak dipengaruhi oleh masalah inbalance in nature of things yang akan membahayakan atau mengancam system kegidupan manusia (Survival of Human Species).
Untuk membahas system hokum lingkungan internasional ini menurut Goldie dapat dikaji dalam kerangka hokum internasional berdasarkan:[3]
1.    Customary International Law (CIL); dan
2.    Conventional International Law.
Pada kedua sumber hokum diatas telah tumbuh hokum lingkungan internasional sebagai bagian dari hokum internasional.
1.   Dalam Kerangka Customary International Law (CIL)
Customary international Law (CIL) baru muncul sebagai kaidah perlindungan lingkungan pada akhir abd XIX. Kemudian dikuti dengan doktrin “State responsibility” yang merupakan penerapan secara modern atas konsep tanggung jawab Negara (state liability) akibat keruskan lingkungan pada Negara lain.
Menjelang tahun 1930, formulasi doktrin international delinquency, oleh lauterpatch ditekankan oleh scope international legal duties falling upon sovereign states. Dalam pengertian ini state responsibility dirumuskan sebagai may become involved as the result of an abuse of a right enjoyed by virtrue of international law. Sebagai contoh dikatakan suatu Negara diwajibkan untuk tidak interface with the flow of a reiver to the detriment of other riperian state.
Larangan terhadap a buse of rights di dasarkan old maxim: sic utere tuo ute alinum non leades telah dikembangkan melalui pengadilan (judicial development). Karena prinsip ini diterapkan pada sungai internasional dan danau abuse of rightprinciple di sini sering disebut sebagai the principle of neigboourliness dan mendapatkandukunga dari kasus pencemaran udara Taril smaller 1941.
Penerapan secara lebih luas atas prisnip sic utere pada Curfu Channel Case, 1949 yang mengatakan antara lain evey state’s obligation not to allow knowlingly its territory to be used for acts contrary to the rights of other states. Prinsip sic utere juga dibicarakan pada Lake Lanoux Abritation antara Perancis dan Spanyol, yang diterapkan pada sungai international, meskipun kasus ini bukan untuk pencemaran.
Dan ketiga kasus diatas memberikan evolusi penggunaan prinsip strict liability pada hokum lingkungan internasional.[4]



  1. Dalam Kerangka Konvensi Internasional (Convention International Law)
a.   Lingkungan Umum
1)   Konferensi Stockholm, 1972
Konferensi Internasional Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972, adalah konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB. Konferensi ini juga merupakan penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global. Pertemuan yang digagas oleh PBB ini melahirkan kerjasama antarbangsa dalam penyelamatan lingkungan hidup. Upaya itu diwujudkan PBB dengan membentuk suatu lembaga yang bernama United Nation Environment Progamme (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Konperensi tingkat tinggi lingkungan hidup pertama didunia itu diikuti oleh wakil dari 114 negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup; rencana aksi lingkungan hidup; dan rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan pendukung rencana aksi tersebut.
Dalam konperensi Stockholm inilah untuk pertama kali motto “hanya ada satu bumi” (Only one Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto konperensi. Selain itu, konperensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia (World Environment Day).
Untuk meletakkan landasan bagi International legal principles di bidang lingkungan, kita perlu memiliki persepsi yang benar tentang lingkungan sebagai milik bersama.
Karena itu, Maurice strong yang menjadi sekjen Konferensi Stockholm 1972, menganggap deklarasi ini sebagai:
A new an Important – indeed and dispensible-beginning of an attempt to articulate a code of international conduct for the age of environment.[5]
Konferensi Stockholm sebenarnya berangkat dari peristiwa yang menjadi awal permasalahan Negara-negara Eropa akibat revolusi industry. Berawal dari dari laporan Robert Angus Smith, salah seorang inspektur pencemaran Inggris, tentang hitamnya langit di kawasan industry Manchester, yang berdampak pda tingginya konsentrasi asam pada air hujan.
Smith inilah orang pertama yang menggunakan istilah “hujan asam” (acid rain) pada tahun 1872. Walaupun demikian, fenomena ini ditanggapi seratus tahun kemudian,setelah danau-danau di Skandinavia menjadi asam. Sejak itulah kampanye tentang bahaya hujan asam dimulai.
perhatikan masyarakat internasional semakin meningkat ketika PBB menyelenggarakan konferensi tentang Lingkungan Manusia tahun 1972 di Swedia. Akan tetapi saat itupun, masih banyak Negara yang beranggapak bahwa masalah hujan asam merupakan masalah Negara tertentu saja. Baru pada tahun 1979 inisiatif untuk menangani masalah tersebut dimulai oleh Komisi Ekonomi Eropa (EEC) yang menyusun draft Konvensi tentang Pencemaran Udara Lintas Batas Jarak Jauh ditujukan untuk menghentikan emisi belerang demi kebaikan seluruh Negara Eropa.
Salah satu implikasi politis dari konferensi ini di Indonesia adalah dibentuknya Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi salah satu agenda nasional yang mulai diperhatikan.
Empat tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1982, UU No. 4 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan, dan Kantor Menteri Negara PPLH berubah menjadi Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH).[6]
2)   Konferensi Nairobi dan WCED, 1982
Setelah sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB kembali menggelar suatu konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya. Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil pemerintah dalam Government Council UNEP. Pertemuan tersebut mengusulkan pembentukan suatu komisi yang bertujuan melakukan kajian tentang arah pembangunan di dunia. Usul yang dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa ke Sidang Umum PBB tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World Commission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi inilah yang melakukan pertemuan diberbagai tempat dibelahan dunia, serta berdialog dengan berbagai kalangan termasuk NGO. Komisi ini pula yang menghasilkan dokumen ”Our Common Future” pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu konsep baru yang disebut konsep pembangunan berkelanjutan.
Dokumen Our Common Future juga merumuskan definisi pembangunan berkelanjutan yaitu:”…pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”
Definisi ini dibuat tidak hanya untuk memenuhi persyaratan yang mendukung pembangunan ekonomi tapi juga untuk memenuhi pihak-pihak yang prihatin terhadap kelestarian lingkungan. Majelis Umum PBB mendukung ide ini dan meminta Sekretaris Jendral melakukan sebuah Konperensi untuk menilai lingkungan hidup dunia 20 tahun setelah konferensi Stockholm.[7]
3)   Konferensi Bumi di Rio de Jeneiro, 1992
Setelah 20 tahu konferensi  Stockholm dan 10 tahun setelah konferensi Nairobi, PBB kembali menggelar kembali konferensi lingkungan hidup di rio De Jeneiro pada tahun 1992, dan diberi nama KTT bumi (earth summit). Topic topic yang diangkat dalam konferensi Rio adalah permasalahan polusi,perubahan iklim, penipisan lapisan ozn, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan ir, meluasnya penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah yang berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati. Degradasi lingkungan hidup yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat berimbas pada kepntingan politik, ekonomi, dan social secara meluar di seluruh dunia.[8]
Sebelum konferensi yang kemudian terkenal sebagi KTT Bumi (earth Summit) ini berlangsung, pada siding umum PBB bulan Nopember 1990 Delegasi Malaysia melemparkan isu penting yang berkaitan dengan akses dan pengen dalian sumber daya genetic yang intinya mengemukakan bahwa :
     “Ada beberapa contoh di mana perusahaan transnasional telah mengeksploitasi kekayaan genetika Negara-negara berkembang sebagai sumber daya yang bebas digunakan untuk peneltian dan pengembangan. Produk-produk dari penelitian semacam itu kemudian dipatenkan dan dijual kembali ke Negara-negara berkembang dengan harga yang sangat tinggi. Ini harus dihentikan. Kita harus merumuskan mekanisme untuk kerjasama yang efektif dan saling menguntungklan antara negar-negara maju yang kaya akan bioteknologi dan Negara-negara berkembang akan kaya gen.’’
Seperti diketahui, 99% bahan pangan global bersumber dari 30% spesies, sehingga kelangsungan pertukaran sumber daya genetika menjadi vital bagi jaminan ketersediaan pangan.[9]
Hasil-Hasil KTT Bumi adalah:[10]
1.    Deklarasi Rio;
Salah satu rangkaian dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung jawab dasar gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.
2.    Konvensi Perubahan Iklim (FCCC);
Kesepakatan hokum yang mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintahan pada saat konferensi berlangsung. Tujuan pokok konvensi ini adalah “stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya intervensi yang membahayakan oleh manusia (anthropogenic) terhadap system iklim”.
3.    Konvensi Keanekaragaman Hayati;
Kesepakatan hokum yang bersifat mengikat yang ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara. Menguraikan langkah-langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan pemanfaatan berkelanjutan komponen-komponennya, serta pembagian keuntungan yang adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetic. Konvensi keanekaragaman Hayati sebagai salah satu kesepakatan Rio ditindaklanjuti dan dibahas dalam Conference of Parties (COP) pertama yang diselenggarakan di Nassau, Bahama, pada tahun 1994 dan setahun kemudian diselenggarakan konvensi yang kedua di Jakarta. Konvensi ini dianggap paling penting bagi Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada pasal 3 misalnya, dinyatakan bahwa Negara-negara di dunia mempunyai kedaulatan untuk memanfaatkan sumber daya mereka sendiri adalah sesuai dengan kebijakan lingkungan serta tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di negara lain. Selama ini yang terjadi pengurasan sumber daya genetic dari negara berkembang oleh negara maju dengan pembagian keuntungan yang sangat tidak adil, termasuk dalam pemanfaatan sumber daya genetiknya.[11]
4.    Pernyataan Prinsip-prinsip Kehutanan;
Prinsip-prinsip hokum yang mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara lestari berbagai jenis hutan.
5.    Komisi Pembangunan Berkelanjutan (Comission on Sustainable Development disingkat CSD);
Komisi ini dibentuk pada bulan Desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak lanjut KTT Bumi, mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konperensi Bumi baik ditingkat local, nasional, maupun internasional.
Salah satu hasil KTT Bumi lainnya adalah Agenda 21, yang merupakan sebuah program luas mengenai gerakan yang mengupayakan cara-cara baru dalam berinvestasi dimasa depan untuk mencapai pembangunan berkelanjutan global di abad XXI. Rekomendasi-rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara baru dalam mendidik, memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang sebuah ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan hidup yang bermartabat.
Pokok-pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi pembangunan berkelanjutan adalah:[12]
1.    Social and Economic Dimension yang meliputi : (1) kerjasama internasional untuk mempercepat pembangunan berkelanjutan negara berkembang secara kebijakan domestiknya; (2) memerangi kemiskinan; (3) merubah pola konsumsi; (4) dinamika demografi; (5) proteksi dan peningkatan kesehatan manusia; (6) promosi pengembangan pemukiman manusia berkelanjutan; (7) integrasi lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan keputusan.
2.    Conservation and Management of Resources for Development  yang meliputi: (8) proteksi atmosfir; (9) pendekatan terintegrasi dalam perencanaan dan manajemen sumber daya lahan; (10) memerangi deforestasi; (11) pengelolaan ekosistem yang rawan (fragile); memerangi desertifikasi dan kekeringan; (12) pengelolaan ekosistem yang rawan (fragile); pengembangan pegunungan yang berkelanjutan; (13) mempromosikan pertanian yang berkelanjutan dan pembangunan pedesaan; (14) konservasi keanekaragaman hayati; (15) pengelolaan bioteknologi berwawasan lingkungan; (16) proteksi samudera, beraneka ragam lautan, termasuk lautan tertutup dan semi-tertutup, kawasan pesisir serta proteksi dan penggunan secara rasional berikut pengembangan sumber alam hayati; (17) proteksi kualitas dan suplai air; (18) pengelolaan kimia toksik dan bahaya; (19) pengelolaan limbah beracun dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan lalu lintas internasional secra illegal dalam limbh beracun dan berbahaya; (20) pengelolaan limbah padat dan limbah cair berwawasan lingkungan; (21) pengelolaan yang aman dan berwawasan lingkungan dari limbah radioaktif;
3.    Strengthening the role of major groups yang meliputi: (22) aksi global bagi perempuan mengembangkan pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan; (23) anak dan pemuda dalam pembangunan berkelanjutan; (24) mengakui dan memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah; mitra dalam pembangunan berkelanjutan; (26) prakarsa otoritas local menunjang Agenda 21; (27) memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya; (28) memberdayakan peranan bisnis dan industry; (29) komunitas ilmuwan dan teknologi; (30) memberdayakan peranan petani;
4.    Means of Implementations mencakup: (31) sumber keuangan dan mekanismenya; (32) pengalihan teknologi berwawasan lingkungan, kerjasama serta pengembangan kapasitas; (33) ilmu pengetahuan bagi pembangunan berkelanjutan; (34) mempromosikan pendidikan, kesadaran public, dan latihan; (35) mekanisme nasional dan kerjasama internasional untuk mengembangkan kapasitas dalam negara berkembang; (36) pengaturan kelembagaan internasional; instrumental hokum dan mekanisme internasional; (37) informasi bagi pengambilan keputusan.
Untuk konteks Indonesia, dokumen Agenda 21 nasional diselesaikan akhir tahun 1996. Dokumen itu dicapai lewat proyek lpembangunan kapasitas Pasca-Konperensi Lingkungan Hidup dan Pembangunan PBB (UNCED), dilakukan oleh Menteri Linkgkungan Hidup, dengan dukungan dari Program Pembangunan PBB (UNDP). Ada 22 konsultan nasional yang terlibat dalam proyek ini. Proyek ini juga melibatkan berbagai pihak, antara lain pegawai pemerintah, ORNOP, akademik, dan wakil masyarakat umum. Dokumen berisi rekomendasi untuk pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk setiap sektor pembangunan, termasuk pelayanan masyarakat dan partisipasi masyarakat.
4)   Konferensi Rio+5
Konferensi Rio+5 juga disebut KTT Bumi + 5 (Earth Summit + 5) diselenggarakan di New York pada Tahun 1997. Pada konferensi tersebut, Sarwono Kusumaatmaja, Menteri Lingkungan Hidup Indonesia mempresentasikan rintangan dalam implementasi Agenda 21 di Indonesia,”beberapa rintangan penting adalah kekurangan sumber daya manusia yang terlatih dilapangan pembangunan berkelanjutan, akses teknologi lingkungan hidup yang aman, ketidakcukupan serta keterbatasan sumber keuangan.”
Sementara itu Dewan Ekonomi dan Sosial PBB atau CSD telah menyiapkan sebuah dokumen yang berjudul “Program pelaksana Lanjutan Agenda 21”. Program ini dibicarakan pula dalam Earth Summit + 5. Sidang tersebut juga mendiskusikan sebuah program kerja Komisi dari tahun 1998-2000. Lebih dari 50 Menteri menghadiri CSD setiap tahunnya dan lebih dari 1000 organisasi non pemerintah dan organisasi internasional untuk menjadi tuan rumah dalam pengadaan workshop dan konferensi masalah-masalah lingkungan yang berbeda dan isu-isu berbagai sektor. Hasil pertemuan berbagai ahli ini akan membantu komisi untuk bekerja lebih banyak dengan pemerintah nasional dan rekanan ornop lainnya untuk memperkenalkan pembangunan berkelanjutan keseluruh dunia. Siding Majelis Umum ke-55 telah memutus, pada bulan Desember 2000 CSD berperan sebagai badan pusat pengelolaan untuk penyelenggaraan Konperensi Dunia 2002.
CSD juga telah mengidentifikasi berbagai kekurangan sejak Rio 1992. CSD menyatakan.”Banyak indicator global pembangunan berkelanjutan menunjukan sedikit perbaikan atau kemunduran yang terus menerus selama 10 tahun terakhir. Kemiskinan yang terus-menerus selama 10 tahun terakhir. Kemiskinan bertambah, air segar dan pasokan makanan yang terjamin tidak cukup tersedia, dan jurang antara kaya dan miskin makin melebar.” CSD mengangkat pentingnya komitmen global dalam mengurangi angka kemiskinan yang saat ini telah mencapai 1,3 miliar jiwa serta untuk meningkatkan kerja sama agar 2 miliar jiwa lainnya di negara berkembang dapat menikmati listrik, juga untuk meningkatkan kemampuan transportasi dalam melancarkan pembangunan.[13]    
b.   Konservasi
Konsep konservasi didasarkan pada anggapan atau teori tentang kelangkaan atau keterbatasan kekayaan alam di bumi (resource scarcity) sehingga perlu pembangunan yang bijaksana (wise use) atau anjuran untuk menciptakan teknik pengelolaan yang efisien (techniques of efficient management). Konsep ini berkembang sesuai dengan tingkat persepsi dan perkembangan zaman (masyarakat primitive, modern, pertanian, industry, dan sebagainya). Pada dasarnya konsep konservasi terutama ditujukan pada masalah kelangkaan atau keterbatasan kekayaan alam (scarcity, exhaustability or depletion).[14]
Salah satu bidang ilmu yang berkembang dalam konsep konservasi ini adalah teori ekonomi, seperti doktrin tentang increasing natural scarcity. Doktrin ini mengandung keterlibatan ilmu secara inter dan multi-displiner, meliputi antara lain, filosofi, ekologi, demografi, ilmu politik, dan ekonomi. Dalam pengertian natural scarcity, exhaustability, ilmu ekologi memegang peranan penting. Kita kenal teori Malthus tentang lingkaran setan (Malthusian trap) yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya alam, hubungan pengadaan makanan dan ledakan penduduk, timbulah konsep conservation economics. Salah satu pengaruh dari teori ekonomi sumber daya ini adalah pemisahan yang tegas dan jelas antara konsep management dan conservation.[15]
c.    Kehutanan
1)   Kongres Kehutanan Sedunia VII di Jakarta. 1978
Kongres  bertemakan “Forrest for People” yang diselenggarakan pada tanggal 16 – 28 Oktober 1978 di Jakarta ini dihadiri oleh 102 negara dan 19 organisasi internasional. Dalam kongres ini ditegaskan bahwa hutan diseluruh dunia harus dibina atas dasar kelestarian, demi kesejahteraan semua umat manusia. Sebuah pernyataan politik yang sangat simpatik. Tapi tidak diikuti program aksi yang mengarah pada ikrar kongres tersebut.
Isu-isu pokok yang dibahas dalam kongres ini diantaranya adalah: pentingnya mengelola hutan secara lebih efisien, rehabilitasi hutan-hutan yang rusak dan tanah-tanah kritis, multiguna hutan, sumber kayu bakar, penyediaan pangan dan lapangan pekerjaan, terutama bagi masyarakat desa dan pembangunan pedesaan, peningkatan pemanfaatan hasil hutan nonkayu, pengawasan terhadap jasa-jasa dan dampak lingkungan, seperti perlindungan tata air, erosi, kesuburan tanah, iklim mikro, dan wisata alam.
Dampak kongres ini baru terlihat pada tahun 1985, ketika ekspor kayu gelondongan (log) dilarang. Pelarangan ini sebenarnya lebih bertujuan meningkatkan nilai tambah kayu. Ekspor besar-besran kayu gelondongan sejak Pelita I sampai Pelita III (1969-1984) merupakan penghasil devisa kedua setelah minyak bumi. Namun kegiatan ini tidak disertai dengan tindakan kontrol kelesarian yang memadai sehingga mengakibatkan pengurasan sumber daya kayu jenis-jenis komersial dan perusakan jenis lain yang saat itu dianggap kurang bernilai ekonomi. Pada saat itu, belum muncul isu yang menyangkut aspek-aspek social budaya dari masyarakat yang tinggal didalam dan sekitar hutan atau masyarakat tradisional (indigenous people). Masalah ini baru muncul pada paruh tengah decade 1980-an dan selanjutnya bergema terus hingga puncaknya muncul pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992.[16]
2)   Deklarasi Yokohama, 1991
Pada tanggal 22-26 Juli 1991, para rimbawan senior dunia berkumpul di Yokohama, dan menghasilkan Deklarasi Kehutanan Yohohama yang berisi delapan butir. Beberapa isu pokok dalam deklarasi tersebut antara lain adalah perlunya pengelolaan hutan tropis secara lestari, baik untuk kepentingan industry perkayuan, pemanfaatan hasil hutan nonkayu, konservasi keanekaragaman hayati, nilai-nilai lingkungan dan kemanusiaan, serta pengakuan akan pentingnya keterlibatan masyarakat local dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk pembangunan pedesaan.[17]

3)   Kongres Kehutanan Sedunia X, Paris, 1991
pada tahun yang sama diselenggarakan Kongres Kehutanan Dunia ke-10 di Paris yang menghasilkan Sembilan butir keputusan, antara lain tentang “penghijauan bumi”, pengendalian emisi gas polutan dan emisi rumah kaca, pengembangan perdagangan sesuai kesepakatan GATT, kerja sama tingkat politik untuk penanganan hutan dan pengelolaan daerah aliran sungai utama, perlunya mobilisasi dana-dana internasional kenegara-negara berkembang, penguatan penelitian, percobaan lapangan, pelatihan dan tukar-menukar informasi, serta penguatan koordinasi antar lembaga internasional. Hasil-hasil kesepakatan itermasuk hasil kerja dan usulan dari Komisi Bruntland, kemudian dibawa dan dipadukan dengan rekomendasi-rekomendasi lain dalam United Nation Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio tahun 1972.[18]
d.   Pencemaran
Pengertian dan lingkup permasalahan pencemaran dan hokum lingkungan internasional. Pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk environmental impairment, adanya gangguan, perubahan, atau perusakan. Bahkan, adanya benda asing didalamnya yang menyebabkan unsure lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function).
Setiap kegiatan manusia akan menambah materi atau energy pada lingkungan. Apabila materi atau energy itu membahayakan, atau mengancam kesehatan manusia, miliknya atau sumber daya, baik langsung maupun tidak, dikatakan terjadi pencemaran. Menurut pengertian diatas suatu kegiatan yang dikehendaki dapat pula menghasilkan atau menimbulkan pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki.
Pencemaran ini juga disebabkan zat pencemar berada pada tempat yang salah, waktunya tidak tepat dan jumlahnya salah. Uadara, air, dan makanan dapat mengandung benda asing sehingga pencemaran dalam arti ini dapat pula dianggap sebagai upaya mengadakan value judgement tentang kualitas atau kuantitas dari benda asing tersebut. Dalam pada itu, value judgement benda asing inipun masih dipengaruhi oleh factor-faktor lain seperti pertimbangan ekonomi, social budaya, dan persepsi.
Secara ilmiah, definisi pencemaran juga memerlukan standar ilmiah, dan yang dapat memberikan patokan terjadi tidaknya pencemaran yang mengancam lingkungan (impairment). Dengan demikian, sangat sulitmemberikan definisi pencemaran secara menyeluruh (Comperehensive definition) sehingga definisi diberikan berdasarkan consensus umum tentang berbagai jenis pencemaran. (Definisi pencemaran laut setelah konferensi Stockholm 1972, diberikan oleh GESAMP).
Apabila arti dan sejarah pencemaran ini ditelusuri dalam bentuknya yang paling tua hingga pada zaman modern, pencemaran dalam arti kontaminasi yang terjadi pada makanan dan air oleh organism patogenik (pathogenic organism) dianggap merupakan salah satu pencemaran yang sudah tua usianya. Pada tahap ini, upayta pengendalian pencemaran ditujukan pada pencemaran biologis yang terjadi terutama dikota-kota (urbanisasi) karena ledakan penduduk yang menyebabkan sampah domestic meningkat, terjadinya perubahan tataguna tanah serta masalah irigasi. Dalam periode ini, persepsi tentang pencemaran dapat berkisar pada masalah sanitasi, kesehatan lingkungan (public health) yang menghasilkan hokum lingkungan yang klasik (sanitary law). (lihat hokum lingkungan klasik: Prof. Mr. St. Munadjat Danusaputro). Dalam perundang-undangan hal ini lazim diatur dalam undang-undang higinie, makanan dan obat-obatan (food and drugs acts), bandingkan pula dengan perkembangan undang-undang pencemaran udara di Inggris, seperti larangan menggunakan batu bara yang mengganggu kesehatan umum (1273), teori hokum tentang nuisance, negligence melalui yurisprudensi. Air Pollution Law, Smoke Abatement Law dalam pemerintah Raja Edward I tahun 1273 dan 1306.
Pengertian pencemaran dibidang hokum internasional baru dipersoalkan pada permulaan abad ke-20.
Pembahasan konsep pencemaran dalam arti sifat, lingkup, dan prinsip-prinsip hukumnya mencakup aspek-aspek substansial dan prosedurnya. Hal ini dapat kita saksikan, misalnya pada pergeseran sifat pengaturan dari tahap Sanitary Law  ke tahap Pollution Law. Dalam perkembangan ini terjadi pergeseran dari sifat kaidah hukumnya dari hokum perdata kehukum publik disebabkan oleh makin besarnya turut campur tangan pemerintah (conventional principles of civil law to public law for pollution control), dualistic structure. Dalam tahap Pollution Law dilakukan pendekatan mikro, dan tekanan yang besar pada aspek teknis, lingkungan fisik sehingga pada tahap ini, pencemaran lingkungan belum dikaji dalam arti yang menyeluruh (Sholeness, comprehensive). Yang dimaksud dengan aspek perdata misalnya, kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran dan aspek publik, misalnya upaya mengendalikan pencemaran (Pollution Control) dan tata caranya.
Dalam tahap environmental law, pendekatan dilakukan secara menyeluruh (comprehensive), bersifat makro dan berkembangnya pengakuan atas prinsip-prinsip ekologi lingkungan. Karena itu, lingkup permasalahannya dapat meliputi masalah pencemaran, manajemen, konservasi dan daya dukung lingkungan sebagai system pendukung kehidupan (Life – Support System). Untuk dapat memahami masalahnya secara menyeluruh, tidak saja memerlukan pengetahuan teknis yang memadai (Pollution Law stage), tetapi juga makin banyaknya disiplin ilmu yang terlibat di dalamnya (interdisciplinary approach).
Karena besarnya aspek tenis dan ilmiah yang terlibat didalamnya, sukar untuk memperoleh kesepakatan mengenai criteria tentang Pollution assessment and control. Bagaimana menetapkan telah terjadinya pencemaran, berapa ukurannya dan tingkat kualitas dan kuantitas zat pencemar yang terkandung didalamnya telah dapat membahayakan kesehatan, lingkungan atau fungsi ekosistemnya, hanyalah beberapa masalah yang harus dijawab. Hal ini memperlihatkan betapa rumitnya criteria secara ilmiah agar dapat dilaksanakan dan diterima.
Pollution Control mempersoalkan pula protection standards, tingkat pencemaran yang dapat ditolerir, diterima untuk lingkungan tertentu, dan masih banyak lagi pertimbangan lainnya. protection standards juga bergantung kepada pertimbangan cost and benefit. Ini bergantung pula kepada sifat pengaruh dan tujuan yang hendak dicapai (effects and goals).
Hal ini akan mempersoalkan pula discharge standards, yaitu suatu maksimum suatu zat pencemar yang diperkenankan ada pada limbah buangan tertentu kedalam lingkungan penerima buangan limbah.
Persoalan iatas juga menyangkut standar teknologi (technologicsl standards). Yang dimaksudkan dengan standar teknologi ialah norms concerned with performance and design dari teknologinya atau pengoprasiannya pada waktu membuang limbah. Standar teknologi ini umumnya seragam pada setiap tipe teknologi, misalnya tipe tangki, tipe untuk industry (manufactures).
Keseragaman ini dirasakan penting apabila dikaitkan dengan standar yang berlaku bagi perdagangan internasional yang dikenal sebagai non-tarifbarries yang dibuat berbeda-beda pada tiap-tiap negara. Misalnya, standar emisi untuk mobil eksport, DDT dan pestisida bagi kegiatan pertanian (Johnston).


e.   Perubahan Iklim
1)   Protocol Kyoto, 1997
Hal yang mendasari dikeluarkannya Protokol Kyoto adalah didirikannya Kerangka Kerja Konvensi Perubahan Iklim di New York pada 9 Mei 1992. Pada Desember 1997, 167 negara dan Masyarakat Eropa merupakan para pihak yang membahas perubahan iklim yang diselenggarakan oleh Konvensi ini. Tujuan utama konvensi ini yaitu seperti dalam pasal 2:
“stabilitas konsentrasi emisi gas rumah kaca (greenhouse) di atmosfer pada tingkat yang dapat melindungi pengaruh manusia (anthropogenic) yang berbahaya berkaitan dengan system iklim”.
Tujuan ini setelah dibahas ternyata member keraguan terhadap para ahli lingkungan dikarenakan ada pernyataan “tingkat” yang tidak spesifik ini, maka di Pasal 2 ditetapkan bahwa:
“pada suatu level tertentu yang harus dicapai dalam kerangka waktu yang cukup memungkinkan adaptasi alami dari perubahan iklim, untuk menjamin tidak terancamnya produksi pangan dan memungkinkan berlangsungnya pembangunan ekonomi yang terlanjutkan.”
Kebijakan-kebijakan dan pertimbangan-pertimbangan dilakukan secara komprehensif, mencakup seluruh sumber daya dan simpanan emisi gas rumah kaca yang disesuaikan dengan perubahan iklim. Pertimbangan-pertimbangan khusus seharusnya diberikan kepada negara-negara yang paling dipengaruhi oleh perubahan iklim atau oleh pengukuran untuk menentang pemanasan global. Akhirnya, para pihak seyogyanya mempromosikan pembangunan berkelanjutan dan system ekonomi internasional tanpa pembatasan-pembatasan yang tersembunyi di perdagangan internasional.
Konvensi ini memberikan beberapa konsekuensi terhadap para pihak untuk melakukan:
a.    Inventarisasi nasional terhadap emisi gas rumah kaca antropogenik dan mengubahnya dengan sink-sink.
b.    Elaborasi dan mengimplementasikan program-program nasional dan regional yang menimbang penanggulangan dan penyesuaian terhadap perubahan iklim.
c.    Promosikan pengelolaan berkelanjutan terhadap sink-sink dan resourver-resourver.
d.    Bekerjasama dalam penyiapan untuk adaptasi.
e.    Promosi dan kerjasama dalam keterpaduan dalam menimbang kebijakan-kebijakan iklim kedalam wilayah-wilayah kebijakan yang lain serta kerja sama internasional dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan.[19]
2)   Bali Roadmap, 2007
Konferensi kerangka kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) ke- 13 di Nusa Dua, Bali, 3-4 Desember 2007 berakhir secara dramatis. Setelah berunding selama dua minggu dan molor sehari, para delegasi dari 190 negara akhirnya menyetujui consensus untuk menekan laju perubahan iklim. Keputusan itu diambil setelah secara mengejutkan delegasi Amerika Serikat menerima consensus bersama dalam Peta Jalan Bali (Bali Roadmap)
Langkah maju di Bali itu tentu saja melegakan public dunia. Setidaknya itu pertanda Amerika Serikat mulai menyadari bahwa dampak perubahan iklim tidak bisa diatasi sendirian. Harus ada gerakan bersama sekalipun Amerika Serikat memiliki kemampuan lebih baik untuk mengatasi dan mencegah dampak perubahan iklim.
Peserta konferensi mengakui hasil kajian ilmiah Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC). IPCC menyebutkan dalam kurun tidak lebih dari 50 tahun, es di Kutub Utara bakal hilang. IPCC juga memprediksi kenaikan suhu 1,8 hingga 4 derajat Celsius, permukaan air laut naik 28 hingga 34 cm, serta terjadi peningkatan gelombang udara panas dan badai tropis.
Peta Jalan Bali (Bali Roadmap ) memberikan arah yang jelas bagi perundingan lanjutan yang menyangkut pengurangan gas rumah kaca, mitigasi, dan adaptasi, alih teknologi, serta kucuran dana bagi Reduction Emmision from Deforestation and Degradation (REDD). REDD yang diajukan delegasi Indonesia merupakan dana insentif yang bisa segera mengalir atas nama pemeliharaan hutan. Tujuannya untuk mencegah pelepasan karbon dalam jumlah bersar lewat kejadian kebakaran dan praktik pembukaan lahan sembarangan.
Kerangka baru menghadapi perubahaniklim pasca Protokol Kyoto yang akan berakhir pada 2012 itu kini siap digulirkan. Dokumen yang diberi nama Bali Roadmap tersebut memuat langkah-langkah penurunan emisi, transfer teknologi bersih ke negara berkembang, penghentian kerusakan hutan, serta bantuan kepada negara-negara miskin untuk menghadapi dampak ekonomi dan lingkungan akibat perubahan iklim, seperti kenaikan air laut dan penurunan panen. Konferensi Perubahan Iklim, yang telah berlangsung selama 15 tahun inipun memiliki tujuan akhir yang jelas, yakni agar konsentrasi gas rumah kaca diatmosfer stabil sehingga iklim tidak berubah, ekosistem bumi mempunyai waktu untuk beradaptasi, pembangunan ekonomi berpindah dari energy fosil menjadi ramah lingkungan. Bali Roadmap juga menentukan parameter serta tujuan yang akan dibahas bersama dan mencapai kesepakatan akhir dalam konferensi 2009 di Kopenhagen, Denmark.


Inti dari Bali Roadmap:
-      Respons atas temuan keempat Panel Antarpemerintah Perubahan Iklim (IPCC) bahwa keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering terjadinya dampak buruk perubahan iklim.
-      Pengakuan baha pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai tujuan utama.
-      Keputusan untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya keputusan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) secara efektif dan berkelanjutan.
-      Penegasan kesediaan sukarela negara berkembang mengurangi emisi secara terukur, dilaporkan, dan bisa diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan, didukung teknologi, dana, dan tpeningkatan kapasitas.
-      Penguatan kerjasama dibidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.
-      Memperkuat sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi, dan alih teknologi terkait perubahan iklim.
Sedangkan komitmen dari bali Roadmap:
1.    Memulai pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012).
2.    Menjalankan program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi.
3.    Mengadopsi usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahab deforestasi degradasi hutan di negara berkembang (REDD).
4.    Menyepakati data IPCC (Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim) sebagai acuan.
5.    Melipatgandakan skala CDM (mekanisme pembangunan bersih) dari sektor kehutanan.
6.    Memasukkan teknologi carbon capture and storage ke CDM.
7.    Menyepakatiperluasan kerja kelompok pakar untuk adaptasi di negara LDC (Least Development Countries)
  1. Mekanisme Kelembagaan
Masalah lingkungan hidup dan pengaturan hukumnya memerlukan system institusi dibawah system PBB (UN System). Dengan adanya mekanisme institusi ini, tanggungjawab internasional dibidang lingkungan(antara lain international environmental Action) dapat dilaksanakan dengan pendekatan yang menyeluruh dan bersifat lintas fungsi tradisionalnya.
Pendekatan kelembagaan dibawah system PBB. Pernah dikemukakan oleh mantan sekjen PBB yang antara lain, mengatakan:
with the authority to insure that the agreement measure are the right ones and that they are actually carried out….able, if necessary to police and enforce its decision”-new specialized agency as’super-agancy.”
Pengembangan system institusi ini harus memperhatikan tingkat-tingkat dan structurnya yang bersifat: (i) global; (ii) regional; (iii) nasional.
Dalam system ini terdapat organ yang memiliki policy-making dan kelompok organisasi atau badan khusus PBB yang secara khusus terlibat dalam program dan kegiatan lingkungan, seperti: MO, WHO, FAO, LO, dan IMCO.
Bagaimana koordinasi harus dilakukan dengan lembaga-lembaga tingkat nasional, kerjasama dan koordinasi dengan regional arrangements. Bagaimana system pelaporan masalah lingkungan setidak-tidaknya sebagai umpan-balik (feedback) dan sebagainya. Sekitar 70% biosfer berada diluar yuridiksi nasional sehingga aspek transnasional global masalah lingkungan cukup besar.
Bagaimana perlindungan the commons, melaksanakan international responsibility, mengelola environmental fund. Hanya beberapa di antara masalah yang memerlukan mekanisme kelembagaan yang efektif dan menyeluruh (global).[20]

  1. Aspek-aspek Hukum Dampak Lingkungan Lintas Batas Nasional (Transnasional) dalam Perundang-undangan Indonesia.
Eksplorasi dan eksploitasi mineral, khususnya migas di perairan Indonesia merupakan perkembangan baru dalam hokum laut Indonesia. Kegiatan ini juga meliputi daerah-daerah laut yang terletak diluar wilayah negara kita. Hal ini terjadi menjelang akhir tahun 1969, pada saat perjanjian bilateral tentang landas kontinen diadakan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Tahap lanjut dari perkembangan ini ialah dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen dengan ketentuan pelaksanaannya. Kemudian pada tahun yang sama dan tahun berikutnya perundang-undangan tentang pencemaran laut dari kegiatan perminyakan lepas pantai juga berkembang, termasuk peraturan umum pertamina tentang pencemaran. Dengan perkembangan ini dapat dikatakan bahwa era hokum lingkungan laut yang bersifat lintas batas kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari perkembangan hokum lingkungan modern telah terjadi.
Namun demikian, perkembangan hokum lingkungan Indonesia yang bersifat menyeluruh barulah terjadi setelah peristiwa kandasnya kapal tanki minyak Showa Maru di Selat Malaka/Sinagpura pada tahun 1975. Sebagaimana diketahui behwa eristiwa ini telah mendorong terbentuknya Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup Indonesia pada tahun 1976. Dengan terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawas Pembangunan dan Lingkungan Hidup (sekarang menteri KLH), gerakan kesadaran lingkungan dan upaya menyusun Rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup oleh kantor ini terbentuk tahun 1979. Rancangan UULH ini kemudian dikenal sebagi UU NO. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup. Berdasarkan Pasal 4 huruf e diatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional, yang berbunyi:
terlindunginya negara terhadap dampak kegiatan diluar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran lingkungan”.
Kemudian, UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif memuat ketentuan hokum yang bersifat lintas batas nasional berdasarkan Konvensi Hukum Laut Baru, yang juga telah diratifikasi Indonesia sebagaimana diutarakan diatas. Pada perkembangan teraktual hokum Lingkungan Indonesia, setelah dicabutnya UU No. 4 Tahun 1982 yang digantikan dengan UU No. 23 Tahun 1997, maka pengaturan yang sifatnya menjangkau lintas batas nasional diatur pada pasal 4 huruf f UU No. 23 Tahun 1997, yang berbunyi:
terlindunginya Negara Kesatuan Republik Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah negara yang menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
          Sehubungan dengan perkembangan hokum yang mengatur dampak lingkungan lintas batas nasional, maka ketentuan-ketentuan hokum internasional yang mengatur hal yang samadan telah diratifikasi Indonesia, seperti konvensi-konvensi IMCO dan persetujuan regional tersebut diatas harus dilihat sebagai perkembangan yang menyeluruh mengenai system hokum lingkungan nasional Indonesia.[21]


  1. Rangkuman
Bagi Indonesia, sebagai negara kepulauan yang lautnya meliputi dua pertiga wilayah nasional dan pantainya nomor 2 terpanjang di dunia, sehingga pengaturan hokum terhadap dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional penting.
Sejarah perkembangan hokum yang mengatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas di Indonesia, diawali dengan hokum perminyakan pada eksplorasi dan eksplotasi minyak lepas pantai, termasuk tumpahan minyak dari kapal tanki minyak. Namun, karena sifat pencemaran yang bersifat lintas batas nasional meliputi berbagai kegiatan dan aspek lingkungan, sesuai dengan UULH Tahun 1982/97, pengaturannya harus bersifat terpadu dan komprehensif.
Hokum yang mengatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional terintegrasi pula dengan ketentuan-ketentuan hokum internasional dalam konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Indonesia. Karena itu, pelaksanaan ketentuan hokum nasional harus memperhatikan prinsip-prinsip hokum pencemaran lintas batas nasional (transfrontier Pollution) yang telah berkembang secara internasional dan regional. Meskipun demikian, penerapan prinsip-prinsip internasional ini, harus memperhatikan keadaan dan sifat-sifat khusus lingkungan nasional dan peruntukannya. Hal ini akan merupakan dasar pengaturan hokum secara khusus bagi setiap negara yang diakui dalam prinsip-prinsip hokum lingkungan laut yang sedang berkembang dewasa ini.


[1] Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegkan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni, Bandung, 1992, hlm. 116-117.
[2] Ibi., hlm. 118,
[3] Ibid., hlm. 111
[4] Ibid., hlm. 112.
[5] Ibid., hlm. 119.
[6] Wiratno, dkk., Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi Pengelolaan Taman Nasional, The Gibbon Foundation Indonesia dan PILI-NGO Movement, Jakarta, 2004, hlm. 43-44.
[7] Siti Maemunah, dkk., Rio+10: Pertambangan dan Penghancuran Berkelanjutan , JATAM, Jakarta, 2001, hlm. 8-9
[8] Ibid., hlm. 9-10
[9] Wiratno, dkk., oop.cit., hlm. 50-51.
[10] Siti Maemunah, dkk.,op.cit.,hlm. 52.
[11] Wiratno, dkk., op.cit., hlm. 52.
[12] Siti Maemunah, dkk., op.cit., hlm. 13-16
[13] Siti Maemunah, dkk.,op.cit.,hlm. 17-18
[14] Daud Silalahi, op.cit., hlm. 120.
[15] Ibid., hlm. 124-125
[16] Wiratno, dkk., op.cit., hlm. 47-48
[17] Ibid., hlm. 50.
[18] Ibid., hlm. 50.
[19] Wiratno, dkk., op.cit., hlm. 54-56.
[20] Daud Silalahi, op.cit., hlm. 153-154
[21] Ibid., hlm. 161-162

1 komentar: