- Perkembangan Hukum Lingkungan dalam Lintas Sejarah Hukum Internasional
Hukum
lingkungan internasional berkembang terutama sejak tahun 1945 ( Perang Dunia II
) saat terjadi berbagai peristiwa penting. Pada tahun ini persepsi manusia
terhadap lingkungan dan new order of hazard in human affairs berkembang (environmental hazard).
Berbagai
referensi tentang bahaya pada lingkungan (environmental hazard ) ini antara
lain dalam Silent Spring, akibat
kimia pertanian (overuse of misuse). Oil
Spills yang kemudian menjadi public
awareness tahun 1960-an, bahaya bagi terjadinya malapetaka, terutama pada
perairan pantai dan sebagaimana, merupakan pokok pembahasan yang luas. Dalam
kaitannya ini menarik pula untuk dibicarakan tentang perkembangan teknologi
pengeboran lepas pantai, tanki minyak, dan sebagainya.
Pengendalian
bahaya pada lingkungan oleh senjata berbahaya (dangerous weapons), mass-destruction
yang dianggap potensial bagi ecocidal. Berbagai arm-control yang dilakukan sejak tahun 1945 merupakan kontribusi
pada pelestarian lingkungan, yang terpenting adalah perjanjian nulklir pada
tahun 1968, seperti Treaty on the Non proliferation of Nuclear Weapons (NPT)
yang berlaku tahun 1970.
Pengaturan
Industrial Discharge and Waste Disposal, terutama setelah Perang Dunia II dan
menjelang Konferensi LHM di Stockholm pada tahun 1972. Kita kenal acid rain, Silent Spring oleh Rachel, dan lain sebagainya.
Malapetaka
kandasnya kapal tanki minyak di laut, seperti Torrey Canyon pada tahun
1967 yang mempengaruhi Konvensi tentang OIL POIL secara mendasar, kemudian Amoco Cadis pada tahun 1978, yang
mempengaruhi ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS III.[1]
Klimaks
pembentukan Hukum Lingkungan Internasional yang bersifat menyeluruh dan
mendasar terjadi di Stockholm pada tahun 1972. Pengaruhnya pada pembentukan
Hukum Lingkungan Nasional yang bersifat transnasional makin penting.
Perlindungan
dan Pelestarian Lingkungan (Protection
and Conservation of the Marine Environment) (1945-1972). Perkembangan ini
meliputi:[2]
Lahirnya
Environtmentalists merupakan produk
system nilai masyarakat modern (DM.
Johnson, 1981). Masalah lingkungan atau kesadaran lingkungan pada abad XX,
secara psikologis banyak dipengaruhi oleh masalah inbalance in nature of things yang akan membahayakan atau mengancam
system kegidupan manusia (Survival of
Human Species).
Untuk
membahas system hokum lingkungan internasional ini menurut Goldie dapat dikaji dalam kerangka hokum internasional berdasarkan:[3]
1.
Customary
International Law (CIL); dan
2.
Conventional
International Law.
Pada
kedua sumber hokum diatas telah tumbuh hokum lingkungan internasional sebagai
bagian dari hokum internasional.
1. Dalam Kerangka Customary International Law (CIL)
Customary
international Law (CIL) baru muncul sebagai kaidah perlindungan lingkungan pada
akhir abd XIX. Kemudian dikuti dengan doktrin “State responsibility” yang
merupakan penerapan secara modern atas konsep tanggung jawab Negara (state
liability) akibat keruskan lingkungan pada Negara lain.
Menjelang
tahun 1930, formulasi doktrin international delinquency, oleh lauterpatch
ditekankan oleh scope international legal duties falling upon sovereign states.
Dalam pengertian ini state responsibility dirumuskan sebagai may become
involved as the result of an abuse of a right enjoyed by virtrue of international
law. Sebagai contoh dikatakan suatu Negara diwajibkan untuk tidak interface
with the flow of a reiver to the detriment of other riperian state.
Larangan
terhadap a buse of rights di dasarkan old maxim: sic utere tuo ute alinum non
leades telah dikembangkan melalui pengadilan (judicial development). Karena
prinsip ini diterapkan pada sungai internasional dan danau abuse of
rightprinciple di sini sering disebut sebagai the principle of neigboourliness
dan mendapatkandukunga dari kasus pencemaran udara Taril smaller 1941.
Penerapan
secara lebih luas atas prisnip sic utere
pada Curfu Channel Case, 1949 yang
mengatakan antara lain evey state’s
obligation not to allow knowlingly its territory to be used for acts contrary
to the rights of other states. Prinsip sic
utere juga dibicarakan pada Lake
Lanoux Abritation antara Perancis dan Spanyol, yang diterapkan pada sungai
international, meskipun kasus ini bukan untuk pencemaran.
Dan
ketiga kasus diatas memberikan evolusi penggunaan prinsip strict liability pada
hokum lingkungan internasional.[4]
- Dalam Kerangka Konvensi Internasional (Convention International Law)
a. Lingkungan Umum
1) Konferensi Stockholm, 1972
Konferensi
Internasional Lingkungan Hidup di Stockholm, Swedia pada tahun 1972, adalah
konferensi yang sangat bersejarah, karena merupakan konferensi pertama tentang
lingkungan hidup yang diprakarsai oleh PBB. Konferensi ini juga merupakan
penentu langkah awal upaya penyelamatan lingkungan hidup secara global.
Pertemuan yang digagas oleh PBB ini melahirkan kerjasama antarbangsa dalam
penyelamatan lingkungan hidup. Upaya itu diwujudkan PBB dengan membentuk suatu
lembaga yang bernama United Nation
Environment Progamme (UNEP) yang berkedudukan di Nairobi, Kenya.
Konperensi
tingkat tinggi lingkungan hidup pertama didunia itu diikuti oleh wakil dari 114
negara, dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup; rencana aksi lingkungan
hidup; dan rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan pendukung rencana aksi
tersebut.
Dalam
konperensi Stockholm inilah untuk pertama kali motto “hanya ada satu bumi” (Only one Earth) untuk semua manusia,
diperkenalkan. Motto itu sekaligus menjadi motto konperensi. Selain itu,
konperensi Stockholm menetapkan tanggal 5 Juni sebagai Hari Lingkungan Hidup
Sedunia (World Environment Day).
Untuk
meletakkan landasan bagi International
legal principles di bidang lingkungan, kita perlu memiliki persepsi yang
benar tentang lingkungan sebagai milik bersama.
Karena
itu, Maurice strong yang menjadi
sekjen Konferensi Stockholm 1972, menganggap deklarasi ini sebagai:
’A new an Important – indeed and
dispensible-beginning of an attempt to articulate a code of international
conduct for the age of environment.[5]
Konferensi
Stockholm sebenarnya berangkat dari peristiwa yang menjadi awal permasalahan
Negara-negara Eropa akibat revolusi industry. Berawal dari dari laporan Robert Angus Smith, salah seorang
inspektur pencemaran Inggris, tentang hitamnya langit di kawasan industry
Manchester, yang berdampak pda tingginya konsentrasi asam pada air hujan.
Smith inilah orang pertama
yang menggunakan istilah “hujan asam” (acid
rain) pada tahun 1872. Walaupun demikian, fenomena ini ditanggapi seratus
tahun kemudian,setelah danau-danau di Skandinavia menjadi asam. Sejak itulah
kampanye tentang bahaya hujan asam dimulai.
perhatikan
masyarakat internasional semakin meningkat ketika PBB menyelenggarakan
konferensi tentang Lingkungan Manusia tahun 1972 di Swedia. Akan tetapi saat
itupun, masih banyak Negara yang beranggapak bahwa masalah hujan asam merupakan
masalah Negara tertentu saja. Baru pada tahun 1979 inisiatif untuk menangani
masalah tersebut dimulai oleh Komisi Ekonomi Eropa (EEC) yang menyusun draft
Konvensi tentang Pencemaran Udara Lintas Batas Jarak Jauh ditujukan untuk
menghentikan emisi belerang demi kebaikan seluruh Negara Eropa.
Salah
satu implikasi politis dari konferensi ini di Indonesia adalah dibentuknya
Kantor Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup menjadi salah
satu agenda nasional yang mulai diperhatikan.
Empat
tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1982, UU No. 4 tentang Pokok-pokok
Pengelolaan Lingkungan Hidup ditetapkan, dan Kantor Menteri Negara PPLH berubah
menjadi Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup (KLH).[6]
2) Konferensi Nairobi dan WCED, 1982
Setelah
sepuluh tahun Konferensi Stockholm berselang, PBB kembali menggelar suatu
konperensi tentang lingkungan hidup pada tahun 1982 di Nairobi, Kenya.
Pertemuan ini merupakan pertemuan wakil-wakil pemerintah dalam Government
Council UNEP. Pertemuan tersebut mengusulkan pembentukan suatu komisi yang
bertujuan melakukan kajian tentang arah pembangunan di dunia. Usul yang
dihasilkan dari pertemuan lingkungan di Nairobi ini dibawa ke Sidang Umum PBB
tahun 1983, dan oleh PBB dibentuk WCED (World
Commission on Environment and Development) yang diketuai oleh Gro Harlem Brundtland. Komisi inilah
yang melakukan pertemuan diberbagai tempat dibelahan dunia, serta berdialog
dengan berbagai kalangan termasuk NGO. Komisi ini pula yang menghasilkan
dokumen ”Our Common Future” pada tahun 1987, yang memuat analisis dan saran
bagi proses pembangunan berkelanjutan. Dalam dokumen itu diperkenalkan suatu
konsep baru yang disebut konsep pembangunan berkelanjutan.
Dokumen
Our Common Future juga merumuskan
definisi pembangunan berkelanjutan yaitu:”…pembangunan
yang memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang
untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.”
Definisi
ini dibuat tidak hanya untuk memenuhi persyaratan yang mendukung pembangunan
ekonomi tapi juga untuk memenuhi pihak-pihak yang prihatin terhadap kelestarian
lingkungan. Majelis Umum PBB mendukung ide ini dan meminta Sekretaris Jendral
melakukan sebuah Konperensi untuk menilai lingkungan hidup dunia 20 tahun
setelah konferensi Stockholm.[7]
3) Konferensi Bumi di Rio de Jeneiro, 1992
Setelah 20 tahu
konferensi Stockholm dan 10 tahun
setelah konferensi Nairobi, PBB kembali menggelar kembali konferensi lingkungan
hidup di rio De Jeneiro pada tahun 1992, dan diberi nama KTT bumi (earth summit). Topic topic yang diangkat
dalam konferensi Rio adalah permasalahan polusi,perubahan iklim, penipisan
lapisan ozn, penggunaan dan pengelolaan sumber daya laut dan ir, meluasnya
penggundulan hutan, penggurunan dan degradasi tanah, limbah-limbah yang
berbahaya serta penipisan keanekaragaman hayati. Degradasi lingkungan hidup
yang terjadi di berbagai belahan bumi dapat berimbas pada kepntingan politik,
ekonomi, dan social secara meluar di seluruh dunia.[8]
Sebelum konferensi
yang kemudian terkenal sebagi KTT Bumi (earth
Summit) ini berlangsung, pada siding umum PBB bulan Nopember 1990 Delegasi
Malaysia melemparkan isu penting yang berkaitan dengan akses dan pengen dalian
sumber daya genetic yang intinya mengemukakan bahwa :
“Ada beberapa contoh di mana perusahaan
transnasional telah mengeksploitasi kekayaan genetika Negara-negara berkembang
sebagai sumber daya yang bebas digunakan untuk peneltian dan pengembangan.
Produk-produk dari penelitian semacam itu kemudian dipatenkan dan dijual
kembali ke Negara-negara berkembang dengan harga yang sangat tinggi. Ini harus
dihentikan. Kita harus merumuskan mekanisme untuk kerjasama yang efektif dan
saling menguntungklan antara negar-negara maju yang kaya akan bioteknologi dan
Negara-negara berkembang akan kaya gen.’’
Seperti diketahui,
99% bahan pangan global bersumber dari 30% spesies, sehingga kelangsungan
pertukaran sumber daya genetika menjadi vital bagi jaminan ketersediaan pangan.[9]
Hasil-Hasil
KTT Bumi adalah:[10]
1.
Deklarasi
Rio;
Salah satu rangkaian
dari 27 prinsip universal yang bisa membantu mengarahkan tanggung jawab dasar
gerakan internasional terhadap lingkungan dan ekonomi.
2.
Konvensi
Perubahan Iklim (FCCC);
Kesepakatan hokum
yang mengikat telah ditandatangani oleh 152 pemerintahan pada saat konferensi
berlangsung. Tujuan pokok konvensi ini adalah “stabilisasi konsentrasi gas
rumah kaca di atmosfir pada tingkat yang dapat mencegah terjadinya intervensi
yang membahayakan oleh manusia (anthropogenic)
terhadap system iklim”.
3.
Konvensi
Keanekaragaman Hayati;
Kesepakatan hokum
yang bersifat mengikat yang ditandatangani sejauh ini oleh 168 negara.
Menguraikan langkah-langkah kedepan dalam pelestarian keragaman hayati dan
pemanfaatan berkelanjutan komponen-komponennya, serta pembagian keuntungan yang
adil dan pantas dari penggunaan sumber daya genetic. Konvensi keanekaragaman
Hayati sebagai salah satu kesepakatan Rio ditindaklanjuti dan dibahas dalam Conference of Parties (COP) pertama yang
diselenggarakan di Nassau, Bahama, pada tahun 1994 dan setahun kemudian
diselenggarakan konvensi yang kedua di Jakarta. Konvensi ini dianggap paling
penting bagi Negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Pada pasal 3
misalnya, dinyatakan bahwa Negara-negara di dunia mempunyai kedaulatan untuk
memanfaatkan sumber daya mereka sendiri adalah sesuai dengan kebijakan
lingkungan serta tidak menimbulkan kerusakan lingkungan di negara lain. Selama
ini yang terjadi pengurasan sumber daya genetic dari negara berkembang oleh
negara maju dengan pembagian keuntungan yang sangat tidak adil, termasuk dalam
pemanfaatan sumber daya genetiknya.[11]
4.
Pernyataan
Prinsip-prinsip Kehutanan;
Prinsip-prinsip
hokum yang mengatur kebijakan nasional dan internasional dalam bidang
kehutanan. Dirancang untuk menjaga dan melakukan pemanfaatan dan pengelolaan
sumber daya hutan global secara berkelanjutan. Prinsip-prinsip ini seharusnya
mewakili konsesi pertama secara internasional mengenai pemanfaatan secara
lestari berbagai jenis hutan.
5.
Komisi
Pembangunan Berkelanjutan (Comission on
Sustainable Development disingkat CSD);
Komisi ini dibentuk
pada bulan Desember 1992. Tujuan CSD adalah untuk memastikan keefektifan tindak
lanjut KTT Bumi, mengawasi serta melaporkan pelaksanaan kesepakatan Konperensi
Bumi baik ditingkat local, nasional, maupun internasional.
Salah satu hasil KTT
Bumi lainnya adalah Agenda 21, yang merupakan sebuah program luas mengenai
gerakan yang mengupayakan cara-cara baru dalam berinvestasi dimasa depan untuk
mencapai pembangunan berkelanjutan global di abad XXI. Rekomendasi-rekomendasi Agenda 21 ini meliputi cara baru dalam
mendidik, memelihara sumber daya alam, dan berpartisipasi untuk merancang
sebuah ekonomi yang berkelanjutan. Tujuan keseluruhan Agenda 21 ini adalah untuk menciptakan keselamatan, keamanan, dan
hidup yang bermartabat.
Pokok-pokok cakupan Agenda 21 yang merupakan program aksi
pembangunan berkelanjutan adalah:[12]
1.
Social and Economic
Dimension yang
meliputi : (1) kerjasama internasional untuk mempercepat pembangunan
berkelanjutan negara berkembang secara kebijakan domestiknya; (2) memerangi
kemiskinan; (3) merubah pola konsumsi; (4) dinamika demografi; (5) proteksi dan
peningkatan kesehatan manusia; (6) promosi pengembangan pemukiman manusia
berkelanjutan; (7) integrasi lingkungan dan pembangunan dalam pengambilan
keputusan.
2. Conservation and Management of Resources for Development
yang meliputi: (8) proteksi atmosfir; (9)
pendekatan terintegrasi dalam perencanaan dan manajemen sumber daya lahan; (10)
memerangi deforestasi; (11) pengelolaan ekosistem yang rawan (fragile); memerangi desertifikasi dan
kekeringan; (12) pengelolaan ekosistem yang rawan (fragile); pengembangan pegunungan yang berkelanjutan; (13)
mempromosikan pertanian yang berkelanjutan dan pembangunan pedesaan; (14)
konservasi keanekaragaman hayati; (15) pengelolaan bioteknologi berwawasan
lingkungan; (16) proteksi samudera, beraneka ragam lautan, termasuk lautan
tertutup dan semi-tertutup, kawasan pesisir serta proteksi dan penggunan secara
rasional berikut pengembangan sumber alam hayati; (17) proteksi kualitas dan
suplai air; (18) pengelolaan kimia toksik dan bahaya; (19) pengelolaan limbah
beracun dengan wawasan lingkungan, termasuk pencegahan lalu lintas
internasional secra illegal dalam limbh beracun dan berbahaya; (20) pengelolaan
limbah padat dan limbah cair berwawasan lingkungan; (21) pengelolaan yang aman
dan berwawasan lingkungan dari limbah radioaktif;
3. Strengthening the role of major groups yang meliputi: (22)
aksi global bagi perempuan mengembangkan pembangunan yang berkelanjutan dan
berkeadilan; (23) anak dan pemuda dalam pembangunan berkelanjutan; (24)
mengakui dan memberdayakan peranan organisasi non-pemerintah; mitra dalam
pembangunan berkelanjutan; (26) prakarsa otoritas local menunjang Agenda 21;
(27) memberdayakan peranan buruh serta serikat buruhnya; (28) memberdayakan
peranan bisnis dan industry; (29) komunitas ilmuwan dan teknologi; (30)
memberdayakan peranan petani;
4. Means of Implementations mencakup: (31)
sumber keuangan dan mekanismenya; (32) pengalihan teknologi berwawasan
lingkungan, kerjasama serta pengembangan kapasitas; (33) ilmu pengetahuan bagi
pembangunan berkelanjutan; (34) mempromosikan pendidikan, kesadaran public, dan
latihan; (35) mekanisme nasional dan kerjasama internasional untuk
mengembangkan kapasitas dalam negara berkembang; (36) pengaturan kelembagaan
internasional; instrumental hokum dan mekanisme internasional; (37) informasi
bagi pengambilan keputusan.
Untuk konteks
Indonesia, dokumen Agenda 21 nasional diselesaikan akhir tahun 1996. Dokumen
itu dicapai lewat proyek lpembangunan kapasitas Pasca-Konperensi Lingkungan
Hidup dan Pembangunan PBB (UNCED), dilakukan oleh Menteri Linkgkungan Hidup,
dengan dukungan dari Program Pembangunan PBB (UNDP). Ada 22 konsultan nasional yang
terlibat dalam proyek ini. Proyek ini juga melibatkan berbagai pihak, antara
lain pegawai pemerintah, ORNOP, akademik, dan wakil masyarakat umum. Dokumen
berisi rekomendasi untuk pembangunan berkelanjutan sampai tahun 2020 untuk
setiap sektor pembangunan, termasuk pelayanan masyarakat dan partisipasi
masyarakat.
4) Konferensi Rio+5
Konferensi
Rio+5 juga disebut KTT Bumi + 5 (Earth
Summit + 5) diselenggarakan di New York pada Tahun 1997. Pada konferensi
tersebut, Sarwono Kusumaatmaja, Menteri
Lingkungan Hidup Indonesia mempresentasikan rintangan dalam implementasi Agenda 21 di Indonesia,”beberapa rintangan penting adalah kekurangan
sumber daya manusia yang terlatih dilapangan pembangunan berkelanjutan, akses
teknologi lingkungan hidup yang aman, ketidakcukupan serta keterbatasan sumber
keuangan.”
Sementara
itu Dewan Ekonomi dan Sosial PBB atau CSD telah menyiapkan sebuah dokumen yang
berjudul “Program pelaksana Lanjutan Agenda 21”. Program ini dibicarakan pula
dalam Earth Summit + 5. Sidang
tersebut juga mendiskusikan sebuah program kerja Komisi dari tahun 1998-2000.
Lebih dari 50 Menteri menghadiri CSD setiap tahunnya dan lebih dari 1000
organisasi non pemerintah dan organisasi internasional untuk menjadi tuan rumah
dalam pengadaan workshop dan
konferensi masalah-masalah lingkungan yang berbeda dan isu-isu berbagai sektor.
Hasil pertemuan berbagai ahli ini akan membantu komisi untuk bekerja lebih
banyak dengan pemerintah nasional dan rekanan ornop lainnya untuk
memperkenalkan pembangunan berkelanjutan keseluruh dunia. Siding Majelis Umum
ke-55 telah memutus, pada bulan Desember 2000 CSD berperan sebagai badan pusat
pengelolaan untuk penyelenggaraan Konperensi Dunia 2002.
CSD
juga telah mengidentifikasi berbagai kekurangan sejak Rio 1992. CSD
menyatakan.”Banyak indicator global
pembangunan berkelanjutan menunjukan sedikit perbaikan atau kemunduran yang
terus menerus selama 10 tahun terakhir. Kemiskinan yang terus-menerus selama 10
tahun terakhir. Kemiskinan bertambah, air segar dan pasokan makanan yang
terjamin tidak cukup tersedia, dan jurang antara kaya dan miskin makin
melebar.” CSD mengangkat pentingnya komitmen global dalam mengurangi angka
kemiskinan yang saat ini telah mencapai 1,3 miliar jiwa serta untuk
meningkatkan kerja sama agar 2 miliar jiwa lainnya di negara berkembang dapat
menikmati listrik, juga untuk meningkatkan kemampuan transportasi dalam
melancarkan pembangunan.[13]
b. Konservasi
Konsep
konservasi didasarkan pada anggapan atau teori tentang kelangkaan atau
keterbatasan kekayaan alam di bumi (resource
scarcity) sehingga perlu pembangunan yang bijaksana (wise use) atau anjuran untuk menciptakan teknik pengelolaan yang efisien
(techniques of efficient management).
Konsep ini berkembang sesuai dengan tingkat persepsi dan perkembangan zaman
(masyarakat primitive, modern, pertanian, industry, dan sebagainya). Pada
dasarnya konsep konservasi terutama ditujukan pada masalah kelangkaan atau
keterbatasan kekayaan alam (scarcity,
exhaustability or depletion).[14]
Salah satu bidang
ilmu yang berkembang dalam konsep konservasi ini adalah teori ekonomi, seperti
doktrin tentang increasing natural
scarcity. Doktrin ini mengandung keterlibatan ilmu secara inter dan
multi-displiner, meliputi antara lain, filosofi, ekologi, demografi, ilmu
politik, dan ekonomi. Dalam pengertian natural
scarcity, exhaustability, ilmu
ekologi memegang peranan penting. Kita kenal teori Malthus tentang lingkaran setan (Malthusian trap) yang disebabkan oleh keterbatasan sumber daya
alam, hubungan pengadaan makanan dan ledakan penduduk, timbulah konsep conservation economics. Salah satu
pengaruh dari teori ekonomi sumber daya ini adalah pemisahan yang tegas dan
jelas antara konsep management dan conservation.[15]
c. Kehutanan
1) Kongres Kehutanan Sedunia VII di Jakarta. 1978
Kongres bertemakan “Forrest for People” yang diselenggarakan pada tanggal 16 – 28
Oktober 1978 di Jakarta ini dihadiri oleh 102 negara dan 19 organisasi internasional.
Dalam kongres ini ditegaskan bahwa hutan diseluruh dunia harus dibina atas
dasar kelestarian, demi kesejahteraan semua umat manusia. Sebuah pernyataan
politik yang sangat simpatik. Tapi tidak diikuti program aksi yang mengarah
pada ikrar kongres tersebut.
Isu-isu
pokok yang dibahas dalam kongres ini diantaranya adalah: pentingnya mengelola
hutan secara lebih efisien, rehabilitasi hutan-hutan yang rusak dan tanah-tanah
kritis, multiguna hutan, sumber kayu bakar, penyediaan pangan dan lapangan pekerjaan,
terutama bagi masyarakat desa dan pembangunan pedesaan, peningkatan pemanfaatan
hasil hutan nonkayu, pengawasan terhadap jasa-jasa dan dampak lingkungan,
seperti perlindungan tata air, erosi, kesuburan tanah, iklim mikro, dan wisata
alam.
Dampak
kongres ini baru terlihat pada tahun 1985, ketika ekspor kayu gelondongan (log)
dilarang. Pelarangan ini sebenarnya lebih bertujuan meningkatkan nilai tambah
kayu. Ekspor besar-besran kayu gelondongan sejak Pelita I sampai Pelita III
(1969-1984) merupakan penghasil devisa kedua setelah minyak bumi. Namun
kegiatan ini tidak disertai dengan tindakan kontrol kelesarian yang memadai
sehingga mengakibatkan pengurasan sumber daya kayu jenis-jenis komersial dan
perusakan jenis lain yang saat itu dianggap kurang bernilai ekonomi. Pada saat
itu, belum muncul isu yang menyangkut aspek-aspek social budaya dari masyarakat
yang tinggal didalam dan sekitar hutan atau masyarakat tradisional (indigenous people). Masalah ini baru
muncul pada paruh tengah decade 1980-an dan selanjutnya bergema terus hingga
puncaknya muncul pada KTT Bumi di Rio de Jeneiro pada tahun 1992.[16]
2) Deklarasi Yokohama, 1991
Pada
tanggal 22-26 Juli 1991, para rimbawan senior dunia berkumpul di Yokohama, dan
menghasilkan Deklarasi Kehutanan Yohohama yang berisi delapan butir. Beberapa
isu pokok dalam deklarasi tersebut antara lain adalah perlunya pengelolaan
hutan tropis secara lestari, baik untuk kepentingan industry perkayuan,
pemanfaatan hasil hutan nonkayu, konservasi keanekaragaman hayati, nilai-nilai
lingkungan dan kemanusiaan, serta pengakuan akan pentingnya keterlibatan
masyarakat local dalam pengelolaan hutan yang lestari untuk pembangunan
pedesaan.[17]
3) Kongres Kehutanan Sedunia X, Paris, 1991
pada
tahun yang sama diselenggarakan Kongres Kehutanan Dunia ke-10 di Paris yang
menghasilkan Sembilan butir keputusan, antara lain tentang “penghijauan bumi”,
pengendalian emisi gas polutan dan emisi rumah kaca, pengembangan perdagangan
sesuai kesepakatan GATT, kerja sama tingkat politik untuk penanganan hutan dan
pengelolaan daerah aliran sungai utama, perlunya mobilisasi dana-dana
internasional kenegara-negara berkembang, penguatan penelitian, percobaan
lapangan, pelatihan dan tukar-menukar informasi, serta penguatan koordinasi
antar lembaga internasional. Hasil-hasil kesepakatan itermasuk hasil kerja dan
usulan dari Komisi Bruntland, kemudian dibawa dan dipadukan dengan
rekomendasi-rekomendasi lain dalam United
Nation Conference on Environment and Development (UNCED) di Rio tahun 1972.[18]
d. Pencemaran
Pengertian
dan lingkup permasalahan pencemaran dan hokum lingkungan internasional.
Pencemaran dapat diartikan sebagai bentuk environmental
impairment, adanya gangguan,
perubahan, atau perusakan. Bahkan, adanya benda asing didalamnya yang
menyebabkan unsure lingkungan tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya (reasonable function).
Setiap
kegiatan manusia akan menambah materi atau energy pada lingkungan. Apabila
materi atau energy itu membahayakan, atau mengancam kesehatan manusia, miliknya
atau sumber daya, baik langsung maupun tidak, dikatakan terjadi pencemaran.
Menurut pengertian diatas suatu kegiatan yang dikehendaki dapat pula
menghasilkan atau menimbulkan pengaruh sampingan yang tidak dikehendaki.
Pencemaran
ini juga disebabkan zat pencemar berada pada tempat yang salah, waktunya tidak
tepat dan jumlahnya salah. Uadara, air, dan makanan dapat mengandung benda
asing sehingga pencemaran dalam arti ini dapat pula dianggap sebagai upaya
mengadakan value judgement tentang
kualitas atau kuantitas dari benda asing tersebut. Dalam pada itu, value judgement benda asing inipun masih
dipengaruhi oleh factor-faktor lain seperti pertimbangan ekonomi, social
budaya, dan persepsi.
Secara ilmiah,
definisi pencemaran juga memerlukan standar ilmiah, dan yang dapat memberikan
patokan terjadi tidaknya pencemaran yang mengancam lingkungan (impairment). Dengan demikian, sangat
sulitmemberikan definisi pencemaran secara menyeluruh (Comperehensive
definition) sehingga definisi diberikan berdasarkan consensus umum tentang
berbagai jenis pencemaran. (Definisi pencemaran laut setelah konferensi
Stockholm 1972, diberikan oleh GESAMP).
Apabila arti dan
sejarah pencemaran ini ditelusuri dalam bentuknya yang paling tua hingga pada
zaman modern, pencemaran dalam arti kontaminasi yang terjadi pada makanan dan
air oleh organism patogenik (pathogenic
organism) dianggap merupakan salah satu pencemaran yang sudah tua usianya.
Pada tahap ini, upayta pengendalian pencemaran ditujukan pada pencemaran
biologis yang terjadi terutama dikota-kota (urbanisasi) karena ledakan penduduk
yang menyebabkan sampah domestic meningkat, terjadinya perubahan tataguna tanah
serta masalah irigasi. Dalam periode ini, persepsi tentang pencemaran dapat
berkisar pada masalah sanitasi, kesehatan lingkungan (public health) yang menghasilkan hokum lingkungan yang klasik (sanitary law). (lihat hokum lingkungan
klasik: Prof. Mr. St. Munadjat
Danusaputro). Dalam perundang-undangan hal ini lazim diatur dalam
undang-undang higinie, makanan dan obat-obatan (food and drugs acts), bandingkan pula dengan perkembangan
undang-undang pencemaran udara di Inggris, seperti larangan menggunakan batu
bara yang mengganggu kesehatan umum (1273), teori hokum tentang nuisance, negligence melalui yurisprudensi. Air Pollution Law, Smoke
Abatement Law dalam pemerintah Raja Edward I tahun 1273 dan 1306.
Pengertian
pencemaran dibidang hokum internasional baru dipersoalkan pada permulaan abad
ke-20.
Pembahasan konsep
pencemaran dalam arti sifat, lingkup, dan prinsip-prinsip hukumnya mencakup
aspek-aspek substansial dan prosedurnya. Hal ini dapat kita saksikan, misalnya
pada pergeseran sifat pengaturan dari tahap Sanitary
Law ke tahap Pollution Law. Dalam perkembangan ini terjadi pergeseran dari sifat
kaidah hukumnya dari hokum perdata kehukum publik disebabkan oleh makin
besarnya turut campur tangan pemerintah (conventional
principles of civil law to public law for pollution control), dualistic
structure. Dalam tahap Pollution Law dilakukan
pendekatan mikro, dan tekanan yang besar pada aspek teknis, lingkungan fisik
sehingga pada tahap ini, pencemaran lingkungan belum dikaji dalam arti yang
menyeluruh (Sholeness, comprehensive).
Yang dimaksud dengan aspek perdata misalnya, kerusakan lingkungan yang
disebabkan oleh pencemaran dan aspek publik, misalnya upaya mengendalikan
pencemaran (Pollution Control) dan
tata caranya.
Dalam tahap environmental law, pendekatan dilakukan
secara menyeluruh (comprehensive),
bersifat makro dan berkembangnya pengakuan atas prinsip-prinsip ekologi
lingkungan. Karena itu, lingkup permasalahannya dapat meliputi masalah
pencemaran, manajemen, konservasi dan daya dukung lingkungan sebagai system
pendukung kehidupan (Life – Support
System). Untuk dapat memahami masalahnya secara menyeluruh, tidak saja
memerlukan pengetahuan teknis yang memadai (Pollution
Law stage), tetapi juga makin banyaknya disiplin ilmu yang terlibat di
dalamnya (interdisciplinary approach).
Karena besarnya
aspek tenis dan ilmiah yang terlibat didalamnya, sukar untuk memperoleh
kesepakatan mengenai criteria tentang Pollution
assessment and control. Bagaimana menetapkan telah terjadinya pencemaran,
berapa ukurannya dan tingkat kualitas dan kuantitas zat pencemar yang
terkandung didalamnya telah dapat membahayakan kesehatan, lingkungan atau
fungsi ekosistemnya, hanyalah beberapa masalah yang harus dijawab. Hal ini
memperlihatkan betapa rumitnya criteria secara ilmiah agar dapat dilaksanakan
dan diterima.
Pollution Control mempersoalkan pula protection standards, tingkat pencemaran yang dapat ditolerir,
diterima untuk lingkungan tertentu, dan masih banyak lagi pertimbangan lainnya.
protection standards juga bergantung
kepada pertimbangan cost and benefit.
Ini bergantung pula kepada sifat pengaruh dan tujuan yang hendak dicapai (effects and goals).
Hal ini akan
mempersoalkan pula discharge standards,
yaitu suatu maksimum suatu zat pencemar yang diperkenankan ada pada limbah
buangan tertentu kedalam lingkungan penerima buangan limbah.
Persoalan iatas juga
menyangkut standar teknologi (technologicsl
standards). Yang dimaksudkan dengan standar teknologi ialah norms concerned with performance and design dari
teknologinya atau pengoprasiannya pada waktu membuang limbah. Standar teknologi
ini umumnya seragam pada setiap tipe teknologi, misalnya tipe tangki, tipe
untuk industry (manufactures).
Keseragaman ini
dirasakan penting apabila dikaitkan dengan standar yang berlaku bagi
perdagangan internasional yang dikenal sebagai non-tarifbarries yang dibuat berbeda-beda pada tiap-tiap negara.
Misalnya, standar emisi untuk mobil eksport, DDT dan pestisida bagi kegiatan
pertanian (Johnston).
e. Perubahan Iklim
1) Protocol Kyoto, 1997
Hal
yang mendasari dikeluarkannya Protokol Kyoto adalah didirikannya Kerangka Kerja
Konvensi Perubahan Iklim di New York pada 9 Mei 1992. Pada Desember 1997, 167
negara dan Masyarakat Eropa merupakan para pihak yang membahas perubahan iklim
yang diselenggarakan oleh Konvensi ini. Tujuan utama konvensi ini yaitu seperti
dalam pasal 2:
“stabilitas
konsentrasi emisi gas rumah kaca (greenhouse)
di atmosfer pada tingkat yang dapat melindungi pengaruh manusia (anthropogenic) yang berbahaya berkaitan
dengan system iklim”.
Tujuan
ini setelah dibahas ternyata member keraguan terhadap para ahli lingkungan
dikarenakan ada pernyataan “tingkat” yang tidak spesifik ini, maka di Pasal 2
ditetapkan bahwa:
“pada
suatu level tertentu yang harus dicapai dalam kerangka waktu yang cukup
memungkinkan adaptasi alami dari perubahan iklim, untuk menjamin tidak
terancamnya produksi pangan dan memungkinkan berlangsungnya pembangunan ekonomi
yang terlanjutkan.”
Kebijakan-kebijakan
dan pertimbangan-pertimbangan dilakukan secara komprehensif, mencakup seluruh
sumber daya dan simpanan emisi gas rumah kaca yang disesuaikan dengan perubahan
iklim. Pertimbangan-pertimbangan khusus seharusnya diberikan kepada negara-negara
yang paling dipengaruhi oleh perubahan iklim atau oleh pengukuran untuk
menentang pemanasan global. Akhirnya, para pihak seyogyanya mempromosikan
pembangunan berkelanjutan dan system ekonomi internasional tanpa
pembatasan-pembatasan yang tersembunyi di perdagangan internasional.
Konvensi
ini memberikan beberapa konsekuensi terhadap para pihak untuk melakukan:
a.
Inventarisasi
nasional terhadap emisi gas rumah kaca antropogenik dan mengubahnya dengan sink-sink.
b.
Elaborasi
dan mengimplementasikan program-program nasional dan regional yang menimbang
penanggulangan dan penyesuaian terhadap perubahan iklim.
c.
Promosikan
pengelolaan berkelanjutan terhadap sink-sink
dan resourver-resourver.
d.
Bekerjasama
dalam penyiapan untuk adaptasi.
e.
Promosi
dan kerjasama dalam keterpaduan dalam menimbang kebijakan-kebijakan iklim
kedalam wilayah-wilayah kebijakan yang lain serta kerja sama internasional
dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, teknologi, dan pendidikan.[19]
2) Bali Roadmap, 2007
Konferensi
kerangka kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC) ke- 13 di Nusa Dua, Bali, 3-4
Desember 2007 berakhir secara dramatis. Setelah berunding selama dua minggu dan
molor sehari, para delegasi dari 190 negara akhirnya menyetujui consensus untuk
menekan laju perubahan iklim. Keputusan itu diambil setelah secara mengejutkan
delegasi Amerika Serikat menerima consensus bersama dalam Peta Jalan Bali (Bali Roadmap)
Langkah
maju di Bali itu tentu saja melegakan public dunia. Setidaknya itu pertanda
Amerika Serikat mulai menyadari bahwa dampak perubahan iklim tidak bisa diatasi
sendirian. Harus ada gerakan bersama sekalipun Amerika Serikat memiliki
kemampuan lebih baik untuk mengatasi dan mencegah dampak perubahan iklim.
Peserta
konferensi mengakui hasil kajian ilmiah Panel Antarpemerintah tentang Perubahan
Iklim (IPCC). IPCC menyebutkan dalam kurun tidak lebih dari 50 tahun, es di
Kutub Utara bakal hilang. IPCC juga memprediksi kenaikan suhu 1,8 hingga 4
derajat Celsius, permukaan air laut naik 28 hingga 34 cm, serta terjadi
peningkatan gelombang udara panas dan badai tropis.
Peta
Jalan Bali (Bali Roadmap ) memberikan
arah yang jelas bagi perundingan lanjutan yang menyangkut pengurangan gas rumah
kaca, mitigasi, dan adaptasi, alih teknologi, serta kucuran dana bagi Reduction Emmision from Deforestation and
Degradation (REDD). REDD yang diajukan delegasi Indonesia merupakan dana
insentif yang bisa segera mengalir atas nama pemeliharaan hutan. Tujuannya
untuk mencegah pelepasan karbon dalam jumlah bersar lewat kejadian kebakaran
dan praktik pembukaan lahan sembarangan.
Kerangka
baru menghadapi perubahaniklim pasca Protokol Kyoto yang akan berakhir pada
2012 itu kini siap digulirkan. Dokumen yang diberi nama Bali Roadmap tersebut memuat langkah-langkah penurunan emisi,
transfer teknologi bersih ke negara berkembang, penghentian kerusakan hutan,
serta bantuan kepada negara-negara miskin untuk menghadapi dampak ekonomi dan
lingkungan akibat perubahan iklim, seperti kenaikan air laut dan penurunan
panen. Konferensi Perubahan Iklim, yang telah berlangsung selama 15 tahun
inipun memiliki tujuan akhir yang jelas, yakni agar konsentrasi gas rumah kaca
diatmosfer stabil sehingga iklim tidak berubah, ekosistem bumi mempunyai waktu
untuk beradaptasi, pembangunan ekonomi berpindah dari energy fosil menjadi
ramah lingkungan. Bali Roadmap juga
menentukan parameter serta tujuan yang akan dibahas bersama dan mencapai
kesepakatan akhir dalam konferensi 2009 di Kopenhagen, Denmark.
Inti
dari Bali Roadmap:
-
Respons
atas temuan keempat Panel Antarpemerintah Perubahan Iklim (IPCC) bahwa
keterlambatan pengurangan emisi akan menghambat peluang mencapai tingkat
stabilisasi emisi yang rendah, serta meningkatkan risiko lebih sering
terjadinya dampak buruk perubahan iklim.
-
Pengakuan
baha pengurangan emisi yang lebih besar secara global diharuskan untuk mencapai
tujuan utama.
-
Keputusan
untuk meluncurkan proses yang menyeluruh, yang memungkinkan dilaksanakannya
keputusan Konvensi Kerangka Kerja PBB mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) secara
efektif dan berkelanjutan.
-
Penegasan
kesediaan sukarela negara berkembang mengurangi emisi secara terukur,
dilaporkan, dan bisa diverifikasi dalam konteks pembangunan berkelanjutan,
didukung teknologi, dana, dan tpeningkatan kapasitas.
-
Penguatan
kerjasama dibidang adaptasi atas perubahan iklim, pengembangan dan alih
teknologi untuk mendukung mitigasi dan adaptasi.
-
Memperkuat
sumber-sumber dana dan investasi untuk mendukung tindakan mitigasi, adaptasi,
dan alih teknologi terkait perubahan iklim.
Sedangkan komitmen
dari bali Roadmap:
1.
Memulai
pencairan dana adaptasi Protokol Kyoto (2008-2012).
2.
Menjalankan
program strategis untuk memacu investasi dalam transfer teknologi.
3.
Mengadopsi
usul reduksi emisi dari mekanisme pencegahab deforestasi degradasi hutan di
negara berkembang (REDD).
4.
Menyepakati
data IPCC (Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim) sebagai acuan.
5.
Melipatgandakan
skala CDM (mekanisme pembangunan bersih) dari sektor kehutanan.
6.
Memasukkan
teknologi carbon capture and storage ke
CDM.
7.
Menyepakatiperluasan
kerja kelompok pakar untuk adaptasi di negara LDC (Least Development Countries)
- Mekanisme Kelembagaan
Masalah
lingkungan hidup dan pengaturan hukumnya memerlukan system institusi dibawah
system PBB (UN System). Dengan adanya
mekanisme institusi ini, tanggungjawab internasional dibidang lingkungan(antara
lain international environmental Action)
dapat dilaksanakan dengan pendekatan yang menyeluruh dan bersifat lintas fungsi
tradisionalnya.
Pendekatan
kelembagaan dibawah system PBB. Pernah dikemukakan oleh mantan sekjen PBB yang
antara lain, mengatakan:
“with the authority to insure that the
agreement measure are the right ones and that they are actually carried
out….able, if necessary to police and enforce its decision”-new specialized
agency as’super-agancy.”
Pengembangan
system institusi ini harus memperhatikan tingkat-tingkat dan structurnya yang
bersifat: (i) global; (ii) regional; (iii) nasional.
Dalam
system ini terdapat organ yang memiliki policy-making
dan kelompok organisasi atau badan khusus PBB yang secara khusus terlibat dalam
program dan kegiatan lingkungan, seperti: MO, WHO, FAO, LO, dan IMCO.
Bagaimana
koordinasi harus dilakukan dengan lembaga-lembaga tingkat nasional, kerjasama
dan koordinasi dengan regional
arrangements. Bagaimana system pelaporan masalah lingkungan setidak-tidaknya
sebagai umpan-balik (feedback) dan
sebagainya. Sekitar 70% biosfer berada diluar yuridiksi nasional sehingga aspek
transnasional global masalah lingkungan cukup besar.
Bagaimana
perlindungan the commons,
melaksanakan international
responsibility, mengelola environmental
fund. Hanya beberapa di antara masalah yang memerlukan mekanisme
kelembagaan yang efektif dan menyeluruh (global).[20]
- Aspek-aspek Hukum Dampak Lingkungan Lintas Batas Nasional (Transnasional) dalam Perundang-undangan Indonesia.
Eksplorasi
dan eksploitasi mineral, khususnya migas di perairan Indonesia merupakan
perkembangan baru dalam hokum laut Indonesia. Kegiatan ini juga meliputi
daerah-daerah laut yang terletak diluar wilayah negara kita. Hal ini terjadi
menjelang akhir tahun 1969, pada saat perjanjian bilateral tentang landas
kontinen diadakan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga. Tahap lanjut
dari perkembangan ini ialah dengan ditetapkannya UU No. 1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen dengan ketentuan pelaksanaannya. Kemudian pada tahun yang sama
dan tahun berikutnya perundang-undangan tentang pencemaran laut dari kegiatan
perminyakan lepas pantai juga berkembang, termasuk peraturan umum pertamina
tentang pencemaran. Dengan perkembangan ini dapat dikatakan bahwa era hokum
lingkungan laut yang bersifat lintas batas kemudian menjadi bagian yang tidak
terpisahkan dari perkembangan hokum lingkungan modern telah terjadi.
Namun
demikian, perkembangan hokum lingkungan Indonesia yang bersifat menyeluruh
barulah terjadi setelah peristiwa kandasnya kapal tanki minyak Showa Maru di
Selat Malaka/Sinagpura pada tahun 1975. Sebagaimana diketahui behwa eristiwa
ini telah mendorong terbentuknya Rancangan Undang-Undang Lingkungan Hidup
Indonesia pada tahun 1976. Dengan terbentuknya Kantor Menteri Negara Pengawas
Pembangunan dan Lingkungan Hidup (sekarang menteri KLH), gerakan kesadaran
lingkungan dan upaya menyusun Rancangan Undang-undang Lingkungan Hidup oleh
kantor ini terbentuk tahun 1979. Rancangan UULH ini kemudian dikenal sebagi UU
NO. 4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Lingkungan Hidup.
Berdasarkan Pasal 4 huruf e diatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas
nasional, yang berbunyi:
“terlindunginya negara terhadap dampak
kegiatan diluar wilayah negara yang menyebabkan kerusakan dan pencemaran
lingkungan”.
Kemudian,
UU No. 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif memuat ketentuan hokum yang
bersifat lintas batas nasional berdasarkan Konvensi Hukum Laut Baru, yang juga
telah diratifikasi Indonesia sebagaimana diutarakan diatas. Pada perkembangan
teraktual hokum Lingkungan Indonesia, setelah dicabutnya UU No. 4 Tahun 1982
yang digantikan dengan UU No. 23 Tahun 1997, maka pengaturan yang sifatnya
menjangkau lintas batas nasional diatur pada pasal 4 huruf f UU No. 23 Tahun 1997,
yang berbunyi:
“terlindunginya Negara Kesatuan Republik
Indonesia terhadap dampak usaha dan/atau kegiatan diluar wilayah negara yang
menyebabkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup.”
Sehubungan dengan
perkembangan hokum yang mengatur dampak lingkungan lintas batas nasional, maka
ketentuan-ketentuan hokum internasional yang mengatur hal yang samadan telah
diratifikasi Indonesia, seperti konvensi-konvensi IMCO dan persetujuan regional
tersebut diatas harus dilihat sebagai perkembangan yang menyeluruh mengenai
system hokum lingkungan nasional Indonesia.[21]
- Rangkuman
Bagi
Indonesia, sebagai negara kepulauan yang lautnya meliputi dua pertiga wilayah
nasional dan pantainya nomor 2 terpanjang di dunia, sehingga pengaturan hokum
terhadap dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional penting.
Sejarah
perkembangan hokum yang mengatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas
di Indonesia, diawali dengan hokum perminyakan pada eksplorasi dan eksplotasi
minyak lepas pantai, termasuk tumpahan minyak dari kapal tanki minyak. Namun,
karena sifat pencemaran yang bersifat lintas batas nasional meliputi berbagai
kegiatan dan aspek lingkungan, sesuai dengan UULH Tahun 1982/97, pengaturannya
harus bersifat terpadu dan komprehensif.
Hokum
yang mengatur dampak lingkungan yang bersifat lintas batas nasional
terintegrasi pula dengan ketentuan-ketentuan hokum internasional dalam
konvensi-konvensi yang telah diratifikasi Indonesia. Karena itu, pelaksanaan
ketentuan hokum nasional harus memperhatikan prinsip-prinsip hokum pencemaran
lintas batas nasional (transfrontier
Pollution) yang telah berkembang secara internasional dan regional.
Meskipun demikian, penerapan prinsip-prinsip internasional ini, harus
memperhatikan keadaan dan sifat-sifat khusus lingkungan nasional dan
peruntukannya. Hal ini akan merupakan dasar pengaturan hokum secara khusus bagi
setiap negara yang diakui dalam prinsip-prinsip hokum lingkungan laut yang
sedang berkembang dewasa ini.
[1]
Daud Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegkan Hukum Lingkungan Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992, hlm. 116-117.
[2]
Ibi., hlm. 118,
[3]
Ibid., hlm. 111
[4]
Ibid., hlm. 112.
[5]
Ibid., hlm. 119.
[6]
Wiratno, dkk., Berkaca di Cermin Retak; Refleksi Konservasi dan Implikasi bagi
Pengelolaan Taman Nasional, The Gibbon Foundation Indonesia dan PILI-NGO
Movement, Jakarta, 2004, hlm. 43-44.
[7]
Siti Maemunah, dkk., Rio+10:
Pertambangan dan Penghancuran Berkelanjutan , JATAM, Jakarta, 2001, hlm. 8-9
[8]
Ibid., hlm. 9-10
[9]
Wiratno, dkk., oop.cit., hlm. 50-51.
[10]
Siti Maemunah, dkk.,op.cit.,hlm. 52.
[11]
Wiratno, dkk., op.cit., hlm. 52.
[12]
Siti Maemunah, dkk., op.cit., hlm. 13-16
[13]
Siti Maemunah, dkk.,op.cit.,hlm. 17-18
[14]
Daud Silalahi, op.cit., hlm. 120.
[15]
Ibid., hlm. 124-125
[16]
Wiratno, dkk., op.cit., hlm. 47-48
[17]
Ibid., hlm. 50.
[18]
Ibid., hlm. 50.
[19]
Wiratno, dkk., op.cit., hlm. 54-56.
[20]
Daud Silalahi, op.cit., hlm. 153-154
[21]
Ibid., hlm. 161-162
sangat bermanfaat minta ijin untuk dijadikan referensi sya :)
BalasHapus